Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Minggu, 02 November 2014

EPISODE HARI INI


Hari tidak berganti saat kau minta. Apalagi saat kau sedang malas dan justru berteriak memakinya. Sedangkan kita? Mau tidak mau harus tertunduk mengikuti titahnya. Naas memang, tapi tidak untuk episode hari ini.
***
Sinar matahari tidak sampai ke kamarku, kamar kita. Jelas saja, wong gorden merah hati lungsuran dari lembaga itu masih sibuk merapatkan diri. Mungkin ia menggigil,pikirku. Background lagu-lagu arab membahana dari aula kanan-atas. Namun, tetap saja tidak bisa membuatku terbangun.
“Nov, Novia... bangun! Ayo ro’an,”Teriak Mbak Anif. Begitu menurutku, wong aku saja masih tidur.
Aku terkesiap, jam digital di handphone-ku menunjukkan pukul setengah enam. Tentu saja aku kaget, bukan karena melalaikan yang namanya sholat shubuh. Aku sedang tidak boleh sholat. Sedang tidak ingin juga.
“Pagi mbak Anif..,”Ucapku tersenyum, menyapa Devisi kebersihan yang telah sigap dengan sapu di tangan kanannya.
Aku menyogoknya dengan sejumput senyuman (tidak manis memang, tapi setidaknya natural). Berlagak belum sepenuhnya sadar dan dengan innocent, mencomot tas orens transparan berisi peralatan mandi. Ahh, jahat sekali diriku.
Aku kalap, tapi masih saja punya stok santai. Beda dengan Novia yang sudah geger sana geger sini. Begitu ya bedanya orang yang disiplin sama tidak, in my opinion sih.
“Eh, Nov! Gimana kalo pake motornya Hida? Tadi aku ketemu dia di bawah,”Lontarku setelah mandi. Pertanda kesadaranku sudah pulih, meski belum seutuhnya.
Dia agree, obsolutely lah. And the next agenda.. capcus!
***
Aku duduk di depan. Bukan berarti aku yang tahu jalan hlo ya! Hanya saja kukira itu memang my turn. Dan ternyata, sampai aku duduk di depan meja, menulis cerita atau tepatnya laporan pertanggungjawaban sambil mendengarkan nyanyian Lilis Karlina malam ini tetap saja aku yang di depan.
“Berarti patokannya itu Java Mall. Kamu tau ‘kan Za,”Ungkap Novia, dibalik siluetku.
“Nyante aja, aku pernah lewat kok,”Jawabku. Sok inspiring ah.
Dari ngerjain ulangan harian sampai soal SBMPTN aku hanya pake feeling. Begitupun dalam memilih jalan menuju Kota Semarang yang terakhir kali aku kunjungi semester lalu. Ah, setidaknya kalau nyasar ada cerita, hiburku.
Aku teringat Ibuk. Seorang wanita beranak dua saudara guruku. Aku tak bermaksud sok friendly dan mengakrabkan diri. Hanya saja, karena her kindness dan rumahnya yang dekat dengan kompleks Undip itu membuatku mengenalnya. Loh? Nyambung banget.
***
 (To be continued)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar