Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Senin, 10 November 2014

EPISODE HARI INI (PART DUA)



(Part dua)
“Tenang saja, ada bawah hidung,”ungkap guruku MI ku dulu. Saat aku tak tahu dimana letak rumahnya. Filosofis, sangat naturalis.
Jadi, dengan sok Elegan aku menepikan Supra X hitam yang kami kendarai . Motor yang mengingatkanku pada masa MA ku dulu.  Supra hitamku yang pernah kehabisan bensin saat pulang pengayaan pukul empat pagi, Supra hitamku yang pernah bocor dua kali dan serta merta mengganti ban luar saat aku yang mengendarai, Supra hitamku yang kadang kedinginan dan sekarang terpaksa kutinggalkan.
“Pak, kalo gedung wanita itu mana ya?” Tanyaku, tudepoin.
Belok kanan, belok kiri, lurus, kiri lagi. Selalu seperti itu.  By the way aku jadi pengen buka jasa. GPS gadungan gituh.
Kami sampai dua jam sebelum acara. Mengantisipasi jika ada acara nyasar gituh. Eh, ternyata gedung wanita yang sudah ramai sana sini sungguh mudah dicari. Lebih mudah dari menegakkan benang basah, wehh.. sombong nih.
“Ayo! kabur dulu,”Usul Novia, ngenes.                             
Jelas saja, membayangkan kita lontang-lantung di situ mending kabur ke Java Mall yang sepenggalan mata. Tentunya setelah eksis di bawah MMT selamat datang di area yang masih sepi.

Seperti yang sudah-sudah. Suhu kota Semarang memang panas. Mungkin sepanas Jogja yang kujamah waktu yang lalu, atau sepanas Pati yang kujamah selama 17 tahun silam. Diksiku tak ingin menggambarkan lalu lintas yang ramai selalu. Begitu juga dengan puitika yang mantap untuk melukiskan mulut Java Mall yang penuh sesak itu.
“Boleh ngga nek aku pindah kuliah disini,”Celetuk teman satuku yang sedang terpukau dengan ramainya badan Java Mall.
Beberapa gerai masih terselimuti. Namun pemiliknya lalu lalang sambil mengamati. Sedang ada acara, hipotesisku bersua.
Karena frustasi dan lelah belum cukup menggelayuti, kami melangkahkan kaki ke elevator yang semoga konsisten dengan tugasnya. Etalase-etalase cantik menarik hati, food court yang menawan melambaikan tangan, apalagi harumnya menu breakfast dari MC Donald’s atau mini restaurant lainnya.
Kita tergoda? Off course, baby.                                                              
Tapi yang lebih menggoda iman adalah brand ‘Gramedia’ merah yang berdiri dengan gagahnya di sudut sana. Aku menggigit bibir, membayangkan bau-bau buku yang masih fresh dan judulnya ‘recommended’ dimana-mana. Membelai satu-kesatuan dari mereka yang hanya terbalut plastik ketat dan label harga.
“Kita..nggak..salah..masuk..kan??”Aku sendiri yang mengacaukan lamunanku.
Novia mencengkeram lengan tanganku. Pertanda sedang merasakan sentuhan serupa. Shop keeper yang memakai seragam merah mawar itu berjajar. Yang laki-laki, perempuan maupun yang mendekati keduanya. Mereka tidak Cuma berdiri membuat pagar betis, seperti yang kulakukan tiga tahun berturut-turut saat menyambut kedatangan menteri RI yang berkunjung ke MA ku.
Ada senyum, sapaan dan dengung-dengung mempersilahkan. Sejenak aku mengucek mata dan mengecek fakta.
“Ini bener-bener Gramedia, bukan Merpati atau Garuda Air lines. Bukan juga Grand Wahid Hotel di kompleks pasaraya,”Protesku.
“Mungkin kita pengunjung pertama,”Simpul Novia cepat.
Kami tersenyum dan sepakat mengakhiri masalah ini. Kemudian berbaur dengan rak-rak buku yang rupanya sudah menarikku dari kutub-kutubnya. Gramedia, bentang, gagas media, diva press, mizania, oncor, sabil dan kawan-kawannya bertebaran menggodaku.
Tentu saja aku masih ingat, uang lima puluhan yang menyusup di dompetku itu jomblo, sendirian. Mungkin hanya ditemani beberapa koin keberuntunganku.
                                                                                                                 
Nanti kalau ada keperluan, baru ngambil di ATM, pikirku (tadi).

Ah, bukankah ini juga keperluan,Za?. Gelitik hatiku yang lain.

Keperluan apa sampai semahal ini? Kamu hanya akan dapat satu buku dengan uang lima puluhan jomblomu. Lagian apa kamu sempet baca itu buku?. Kan minjem di perpus bisa? Berondong sisi efisiensiku, cepat.

Tapi,kan beda! Disini bukunya lebih up to date. Dan.. kamu bisa membubuhkan namamu yang cantik di sudut kanan atas buku itu. Seperti yang sudah-sudah.

Tapi ingat! Minggu ini kamu sudah menghabiskan berlembar-lembar uang lima puluhan. Itu tidak relevan dengan statusmu sebagai mahasiswi.

“Ayo, Nov.. kita pergi”
Aku pergi meninggalkan buku-buku yang nampak kecewa. Juga perhelatan kedua hatiku yang semakin panas saja.
Novia tampaknya membicarakan sesuatu. Ah, apakah ia juga sedang perang batin. Sama sepertiku?
Sebentar-sebentar, sepertinya aku hafal mimik wajahnya. Cara bicara dan sisi manja yang dikeluarkan saat malam menjelang pagi yang hampir setiap hari.
Dia.lagi.broadcast.
Tingkat ilfeel ku berganti channel!
***
(To be Continued)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar