(Part tiga)
Kami sampai lagi di kompleks gedung wanita yang tumplek blek dengan
spesies manusia bermacam usia. Sedang ada lomba menggambar rupanya. Karena
kupikir sudah mendekati jam sebelas, aku masuk saja ke dalam gedung yang ada
umbul-umbulnya kampus fiksi.
Jrengg..
Seperti pada umumnya, kita ngisi attendance. Lalu dikasih silabus
menulis fiksi dan non fiksi sama mbak-mbak yang pakai baju hitam. Dalamnya, ada
kupon makan siang dan kupon pengambilan novel.
Aih,aih.. sepertinya ini akan menarik.
-MENULIS BUATMU TERANCAM KEREN-
Ohooo! Headline di MMT depan itu (sedikit) mengancamku. Ada
perpaduan crunch malu, molecular ingin tahu, tasty nya
ancaman dan sensasionari amarah kalbu. Rupanya dunia tulis-menulis ini telah
mengfragmentasi pilihan prodiku. Kurang
ajar! Kali ini aku benar-benar ingin mencumbuimu, dunia tulis-menulis!
Pukul 11.05 acara kampus fiksi roadshow ini
dibuka oleh mbak Ve yang membalas e-mailku tempo lalu. Bagi kaum pendamba
fiksi, inilah surganya. Aku jadi teringat percakapan dengan sepupuku waktu itu.
Teringat rasa bersalahku juga.
“Dek, besok aku ke Semarang,”Ungkapku, Via SMS.
“Kemaren Jogja, besok Semarang. Ngapain
lagi?”Jawabnya yang seorang mahasiswi juga.
“Pelatihan penulisan fiksi. Dari kampus fiksi,”
“Diva Press?”Lontarnya.
“He.em,”
Komentarnya satu,”Begitu ya, kalo tinggal di kota
besar,”
Aku segera merasakan oksigen-oksigen di sekelilingku
bertransmigrasi ke segitiga bermuda. Sesak.
“Ngga juga. Aku tahu informasinya juga lewat FB,”
Komentarnya masih satu,”Ooh,”
“Kita Cuma ngirim biodata sama surat pernyataan
sanggup mengikuti acara,”
Komentarnya tetap satu,”Eem,”
Aku harus bagaimana lagi?
***
“Bertanya adalah bagian integral dalam menyimak,”Kata
Pak Edi Akhiles yang ternyata jebolan Perbandingan Madzhab dan Hukum (PMH) dari
IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Jadi aku merasa tidak bersalah,dong! Kalau sampai
empat kali mengangkat tangan demi membuktikan kualitas menyimakku yang tinggi.
Tapi, rupanya Mbak Ve yang bernama asli Afifah itu lebih memilih orang-orang di
belakang untuk mengapresiasikan suara hatinya.
Mungkin, ia berpikir bahwa posisiku yang di depannya pas tidak mungkin
tidak paham dengan apa yang dibicarakan. Padahal pas materi snapshot
tadi, aku sudah terbuai di alam mimpi. Ah, kamu selalu begitu,Za!
“Ketika saya membaca karya Dee atau Seno, maka tulisan saya ke-Dee-Dee-an
atau ke-Seno-Seno-an. Apakah itu namanya plagiat, pak?”
Tanya seorang cowok berwajah IAIN, seingetku. Berwajah IAIN ? ya, bisa
ditebak bahwa dia adalah mahasiswa IAIN Walisongo Semarang. Dan hipotesisku
diterima.
Tapi bukan dia yang menarik sehingga aku memasukkannya ke dalam pikiranku
dan mengunci di dalamnya. Absolutely, pertanyaannya!
“Itu namanya intertekstualitas. Tentu saja itu bukan plagiasi kalau Cuma
meniru unsur di dalamnya,”
Dan Pak Edi (yang ternyata juga sempat melantunkan bet-bet awal Alfiyah
Ibn Malik karena aku mengangguk saat dia melontarkan pertanyaan “Ada yang
jurusan PBA?” itu) mengajak kami membredel habis-habisan masalah fiksi.
“Menulis fiksi itu tidak cukup mengandalkan imajinasi,”
“Harus mempunyai ide dan teknik penyajian sebagai pondasi,”
“Pengetahuanmu pun harus di atas rata-rata,”
“Penulis itu juga perlu baca, kontemplasi (perenungan), dan jalan-jalan.
Nggak melulu nulis di depan komputer,”
Begitu wejangan-wejangannya. Ternyata, menulis fiksi itu berat. Kebalikan
dari teori yang selama ini menjajah hati.
***
(To be Continued)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar