Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Senin, 10 November 2014

EPISODE HARI INI (PART TIGA)


(Part tiga)
Kami sampai lagi di kompleks gedung wanita yang tumplek blek dengan spesies manusia bermacam usia. Sedang ada lomba menggambar rupanya. Karena kupikir sudah mendekati jam sebelas, aku masuk saja ke dalam gedung yang ada umbul-umbulnya kampus fiksi.

Jrengg..                                                  

Seperti pada umumnya, kita ngisi attendance. Lalu dikasih silabus menulis fiksi dan non fiksi sama mbak-mbak yang pakai baju hitam. Dalamnya, ada kupon makan siang dan kupon pengambilan novel.
Aih,aih.. sepertinya ini akan menarik.


-MENULIS BUATMU TERANCAM KEREN-

Ohooo! Headline di MMT depan itu (sedikit) mengancamku. Ada perpaduan crunch malu, molecular ingin tahu, tasty nya ancaman dan sensasionari amarah kalbu. Rupanya dunia tulis-menulis ini telah mengfragmentasi  pilihan prodiku. Kurang ajar! Kali ini aku benar-benar ingin mencumbuimu, dunia tulis-menulis!
                Pukul 11.05 acara kampus fiksi roadshow ini dibuka oleh mbak Ve yang membalas e-mailku tempo lalu. Bagi kaum pendamba fiksi, inilah surganya. Aku jadi teringat percakapan dengan sepupuku waktu itu. Teringat rasa bersalahku juga.
                “Dek, besok aku ke Semarang,”Ungkapku, Via SMS.
                “Kemaren Jogja, besok Semarang. Ngapain lagi?”Jawabnya yang seorang mahasiswi juga.
                “Pelatihan penulisan fiksi. Dari kampus fiksi,”
                “Diva Press?”Lontarnya.
                “He.em,”
                Komentarnya satu,”Begitu ya, kalo tinggal di kota besar,”
                Aku segera merasakan oksigen-oksigen di sekelilingku bertransmigrasi ke segitiga bermuda. Sesak.
                “Ngga juga. Aku tahu informasinya juga lewat FB,”
                Komentarnya masih satu,”Ooh,”
                “Kita Cuma ngirim biodata sama surat pernyataan sanggup mengikuti acara,”

                Komentarnya tetap satu,”Eem,”
                Aku harus bagaimana lagi?
***
                “Bertanya adalah bagian integral dalam menyimak,”Kata Pak Edi Akhiles yang ternyata jebolan Perbandingan Madzhab dan Hukum (PMH) dari IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
                Jadi aku merasa tidak bersalah,dong! Kalau sampai empat kali mengangkat tangan demi membuktikan kualitas menyimakku yang tinggi. Tapi, rupanya Mbak Ve yang bernama asli Afifah itu lebih memilih orang-orang di belakang untuk mengapresiasikan suara hatinya.
Mungkin, ia berpikir bahwa posisiku yang di depannya pas tidak mungkin tidak paham dengan apa yang dibicarakan. Padahal pas materi snapshot tadi, aku sudah terbuai di alam mimpi. Ah, kamu selalu begitu,Za!
“Ketika saya membaca karya Dee atau Seno, maka tulisan saya ke-Dee-Dee-an atau ke-Seno-Seno-an. Apakah itu namanya plagiat, pak?”
Tanya seorang cowok berwajah IAIN, seingetku. Berwajah IAIN ? ya, bisa ditebak bahwa dia adalah mahasiswa IAIN Walisongo Semarang. Dan hipotesisku diterima.
Tapi bukan dia yang menarik sehingga aku memasukkannya ke dalam pikiranku dan mengunci di dalamnya. Absolutely, pertanyaannya!
“Itu namanya intertekstualitas. Tentu saja itu bukan plagiasi kalau Cuma meniru unsur di dalamnya,”
Dan Pak Edi (yang ternyata juga sempat melantunkan bet-bet awal Alfiyah Ibn Malik karena aku mengangguk saat dia melontarkan pertanyaan “Ada yang jurusan PBA?” itu) mengajak kami membredel habis-habisan masalah fiksi.
“Menulis fiksi itu tidak cukup mengandalkan imajinasi,”
“Harus mempunyai ide dan teknik penyajian sebagai pondasi,”
“Pengetahuanmu pun harus di atas rata-rata,”
“Penulis itu juga perlu baca, kontemplasi (perenungan), dan jalan-jalan. Nggak melulu nulis di depan komputer,”
Begitu wejangan-wejangannya. Ternyata, menulis fiksi itu berat. Kebalikan dari teori yang selama ini menjajah hati.
***
(To be Continued)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar