Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Senin, 27 Oktober 2014

WIFI MA’HAD SEDANG LANCAR, LANGIT SALATIGA MASIH MERONA, DAN..



Kakiku mengendap-endap, tanganku meraba pada gembok yang bergelantungan dibalik gerbang Ma’had putri yang agak usang. Ini bukan pertama kalinya aku terlambat pulang, tapi rasa rikuh tetap mendera.
                Pengait yang bercokol di kaki gerbang kuangkat pelan-pelan. Srekkkk, gerbang itu berteriak memanggil santri ma’had agar memergokiku.
                “Baru pulang,mbak?”Ujar Ifa yang kerap dipanggil dengan sebutan mami itu.
                Aku bukannya sok terkenal, tapi kebetulan saja menempati jabatan sekretaris yang berhubungan langsung dengan data-data mereka.
                “He.em,”Jawabku, sok manis tapi wagu abis.
                Kulepas sepatu balet-karet yang hampir setiap hari menyusuri sudut kampus,menjinjingnya lalu menempatkannya pada save area.
                “Assalamu’alaikum..,”
                Keempat temanku sedang beradu argumen, sambil tertawa-tawa tepatnya. Sekilas ini membuatku iri. Kesemuanya menduduki spring bed yang tampak nyaman sambil memegang materi untuk UTS besok.
                “Kae to, nggak pake salam,”Celetuk Azizah, yang sedari tadi meng-sms-i aku. Pertanda ia khawatir kepadaku, menurutku sih.
                “Kalian sih yang nggak denger,”
                Aku melepas kaos kaki coklat yang jadi bahan bully-an teman-temanku tadi siang. Mengambil piring, nasi dan sambel terong secara berurutan. Waktunya buka puasa, padahal jam dinding di atas dua jendela kamar kami menunjukkan angka setengah sembilan (malam).
                “Tau nggak, aku tuh khawatir sama kamu... rapat kok nggak pulang-pulang. Bla-bla-bla,”Sedikit ceramah yang dilontarkan teman-temanku di tengah nikmatnya sambel terong dengan kerupuk.
                Rapat? Aku jadi teringat rapat perekrutan anggota baru LPM DinamikA yang dimulai sekitar jam 14.10 tadi. Awalnya, rapat yang juga dihadiri beberapa pengurus itu berlangsung panas. Namun, kukira itu juga bagian dari perangsang agar suasana jadi kondusif dan kritis.
                Rapat yang saking lamanya dan sampai break dua kali itu membuatku malas untuk menceritakan prosesnya. Yang jelas lobi sana lobi sini pasti terjadi. Sekecil apapun sebuah keputusan benar-benar diperhitungkan. Aku agak bersyukur, ikut perekrutan tahun kemarin. Tentunya tahun ini harus lebih ‘berjuang’ untuk bisa jadi crew magang.
                “Dan proses seleksi yang selektif ini juga memberikan makna tersirat agar PANITIA (ditulis dengan huruf balok) lebih kritis dan lebih progresif,”Teriak ketua panitia yang kerap dipanggil Uceng itu.
                Besok masih UTS, dan seharusnya aku belajar. Maafkan aku Mak, Pak.. aku hanya tak suka belajar. Toh yang terpenting aku bisa menggarap soal-soal UTS itu meski dengan headline ‘mengarang indah’.
                 
Terduduk di tengah pintu, membuatku menangkap sinyal wifi Ma’had yang sedang lancar, sambil melihat ujung langit Salatiga yang masih merona dan mengintip ceramahnya Oom Mario dengan subtitle ‘apakah jodohku sedang mencintai orang lain?’. Ah,sudahlah. Tampaknya aku harus pindah posisi. Lebih baik aku menyapa hermeneutika, oksidentalisme, pragmatisme, atau isme-isme yang lain dan pasti membingungkan itu.
                Keinginanku hari ini, semangat untuk tidak sekadar ‘berproses’. Aku ingin naik tingkat, lebih menekuni dunia kejurnalistikan dan keorganisasian. Malu juga jika ditanyai tentang cara buat artikel ga bisa jawab.
                Wifi Ma’had sedang lancar, langit Salatiga masih merona, dan saatnya mencetak bukti nyata.

Minggu, 26 Oktober 2014

JURNALISME NARASI (KARENA PROSES DAN TUJUAN LAHIR KITA BERBEDA


                Karena proses dan tujuan lahir kita berbeda, pelatihan yang berheadline “In House Training I” ini membuatku ingin menggigit jari.
                Absolutely, kudu, harus! Aku membandingkan perekrutan kader-kader pers LPM Arena UIN Sunan Kalijaga yang sedang berbaur denganku itu. Mereka kritis, berpengetahuan dan selalu punya pertanyaan. Agak beda dengan suasana perekrutan LPM ku.
                “Kancah pemikiran alternatif,”Ucap mereka serentak.
                Yang kutemukan waktu itu, ada dua lembar kertas ditempel di dinding kaca kantor LPM Arena. Berisi informasi lulus tidaknya seleksi perekrutan anggota baru. Selain itu, masing-masing nama yang dipajang sudah dikelompokkan ke berbagai devisi.
                 Ooh, bahkan sampai disini aku belum mengerti diriku ini devisi apa.
                Tentu saja, dalam kesempatan ini aku harus kepo sejadi-jadinya. Jadi, semuanya dimulai dari diskusi kamar yang kutempati tidur. Kamar yang dua malam kutiduri itu kurang lebih berukuran 2x2 meter. Namun, yang menempati kukira lebih dari 2x5 orang. Ketika tidur? Mirip dengan ikan pindang, mirip sangat.
                “Jadi, kita itu disuruh orasi di depan banyak orang. Ada yang di depan gedung ini, gedung itu bahkan di depan klinik. How pity we’re,”Terang Wulan, teman baruku yang gaya bicaranya seperti Nina.
                Disitu, di titik itu mental kalian benar-benar sudah diuji.
                “Tapi, masalah subtansi ya kitalah yang menentukan. Mereka (panitia_red) Cuma mau melihat, seberapa besar sih nyali kita buat masuk dunia kejurnalistikan,”Timpal Kurnia.
                “Aku sering ngeliput, kok. Tapi emang nggak ada media buat publikasi. Makanya aku masuk LPM biar bisa kontribusi dan sebagai wujud apresiasi,”
                Ooh... mulia sekali tujuanmu, teman! Nggak heran lah, banyak dari mereka yang nampak memanfaatkan kesempatan. Bagaimana juga, niat dan minat mendapat pangkat yang memikat.
                “Ketika kita dalam perahu dan ternyata perahu itu bocor. Banyak dari kita yang justru melarikan diri, bukan berusaha menambalnya,”
                Ungkapan tersebut mewakili gambaran seorang tukang becak yang membayar pajak, didistribusikan untuk biaya pendidikan. Namun, anaknya sendiri tidak bisa mengenyam bangku sekolah. Ironis memang, lagi-lagi harus ada korban kepentingan elit. Selalu ada egoisme dan serat kapitalis.
                “Tidak tepat sasaran,”Kata pemateri Andir dan Ansos itu.
                Aku mulai memahami, proses lahir mereka berbeda. Karena perbedaan tujuan tentunya. Kritik yang frontal atau ramah pada sosial. Ah, aku semakin bingung pada cara berpikir para penggiat pers kali ini. Seperti yang pernah Mas Nazil bilang, semakin tinggi mercusuar pers yang kita junjung, semakin tinggi juga CCTV yang ikut berkecimpung.
                “Selamat pagi, pers.. aku serasa baru mengenal watakmu. Salam kritis progresif,”

                

Sabtu, 25 Oktober 2014

BERAWAL DARI TITIK

Tugasku hanya duduk, memegang HP dan sesekali mengajaknya bicara. Agar suasana tidak terlalu membosankan,menurutku. Juga, agar anggota tubuhku yang panas, tegang dan pegel itu tidak begitu terasa.
Tapi aku segera terkesiap. Biasanya nggak lewat sini, komentar hatiku. Ah, mana mungkin perempuan berdarah temanggung yang sedang memboncengkanku ini berniat untuk menculikku. Sama sekali tak ada untungnya.
“Ini, lewat Bandungan ya Da?”tanyaku setengah menginterogasi.
“He.m mbak. Biar lebih cepet,”Jawabnya setelah membuka kaca helm.
Ooh, pantesan! Aku sedikit familiar.
“Aku to, Da.. kalo nggak lewat sini tiga-empat kali nggak hafal jalannya. Soalnya, dari dulu pun pas perjalanan selalu tidur,”Kenangku menilik kejadian tahun-tahun lalu. Saat mudik lebaran atau libur semesteran untuk mengunjungi warga Temanggung yang kebetulan darahnya mengalir di tubuhku.
Aku tidak begitu ingat Hida menjawab apa, yang jelas penyakitku yang suka bercerita lagi kumat.
“Justru adikku yang lebih tahu. Bis apa, jurusan mana, lewat jalur mana sampai ongkos yang yang harus dibayar berapa,”
Ah, tampaknya aku sedang rindu.
Aku merapatkan lengan, merasa angin sedang menggelitik suhu tubuhku. Ceritaku yang ngalor ngidul dan diselingi tawa itu membuatku lupa sedang menjalankan misi penting. Misi mengingat jalan. Biar nanti kalau aku sedang ada kesempatan kabur bisa ber-advanture kesini.
“Wehh, Da!”
Sungguh, aku tak bisa berkata apa-apa. Piramida-terasering menampar penglihatanku. Relief alami itu benar-benar menunjukkan betapa Allah itu Maha mempesona.
Aku menengok ke belakang, sekadar memastikan ada tidaknya manusia yang juga sedang terpesona. Tapi lagi-lagi aku yang dibuat terpesona. Emh, can I fainting at the moment? Marvelous scenery yang kupunggungi itu tak kalah indah.
Sawah, lembah dan kabut bergandeng tangan. Awan yang terlihat merengkuh pucuk bukit itu nampak teduh. Mau-mau saja aku membayangkan sedang jadi Si Bukit. Apalagi di suasana hariku yang sedang malas kuliah namun giat ber-traveling ria.
Lazimnya, aku harus sowan. Sekadar menciumi rumput yang kedinginan itu dengan pucuk sepatu balet-karet andalanku. Sejenak memberi ruang bernafas pada syarafku yang stress selalu. Tapi aku tidak. Hanya melanjutkan perjalanan,karena sore segera datang.
Handphone pink-ku berdering. Bukan suara avril lavigne atau azzulfa yang pernah jadi nada deringku sebelum-sebelumnya.
Hanya karena di playlist adanya suara Sa’ad Al-Ghamidi yang mendengungkan  juz 1-30. Bukan juga karena aku terlalu alim, hanya saja tidak sempat mengisi dengan lagu lain setelah kuformat. Dan berkat playlist yang isinya itu, teman-temanku mengata-ngataiku dari ujung mulut sampai ujung rambut. Kemudian mengait-ngaitkan pada kehidupanku yang seperti Ning (anak perempuan seorang kiyai). Ahh, jelas itu dosa besar!
Suara budeku yang selalu riang gembira sedang menanyakan titik koordinat tempatku berada. Orang temangung, selain ramah juga menghormati sesama. Plus kasih sayang yang mereka berikan padaku. Jadi, jangan tanyakan mengapa aku selalu memuji kota kelahiran ibuku itu.
Saking supelnya, budeku itu selalu menggodaku untuk menjodoh-jodohkan aku. Mungkin beliau terlampau tau, keponakannya tidak laku-laku. Terlampau mengerti, keponakannya sering berpacaran dengan laptop sambil mendengarkan percakapan temannya yang mesra lewat pesawat telepon.
 Mbak Ica, anak pakdeku yang masih asyik bermain di TK kecil itu menangis dan merengek minta pulang. Tentu saja acara qur’anan menjelang maghrib di rumah pakdeku yang area Temanggung kota itu belum selesai.
Susahnya, kalau jadi ibu.
                Kemudian, aku mendengar suara Mbak Ica yang kepo sambil sesekali tertawa lepas. Ibunya yang guru SMA merengkuhnya, menggunakan trik dongeng untuk sejenak melepaskan amarah anaknya. Sejenak aku trenyuh, sebelum lincah berbicara di depan kelas tentu seorang ibu harus lebih handal berbicara di depan hati anaknya.
                Tentu kisah itu langsung terbias masuk ke hatiku. Aku ingin menyangkal, suatu saat aku harus menjadi ibu. Aku masih ingin bermain, traveling gratis kesana kesini tanpa panggilan ‘ibu’ saat pulang ke rumah. Masih ingin belajar dan menghabiskan banyak waktu untuk berkisah. Aku... belum sanggup.
                “aku lihat kamu tidak tertarik di dunia permainan itu,”Ungkap temanku,waktu yang lalu.
                Dia menyebut masa pencarian jodoh itu sebagai ‘permainan’. Ya sah-sah saja. Ketika ‘mainan’ itu sudah usang, buang dan cari yang baru.
                “Hatiku sudah pernah usang, dan tak ingin mengalami itu lagi. Aku cukup lelah untuk bermain,”Jawabku, ingin.
                Namun, tentu saja aku tak buru-buru dengan senang hati menerima godaan budeku itu. Masih banyak hal yang perlu aku siapkan. Internal dan personal, bukan masalah sosok yang akan mendampingiku di masa selanjutnya yang kukira ayah, pakde, bude beserta seperangkat saudaraku lainnya yang mungkin sudah ada pandangan.
Model keluarga salafi dan sendhiko dhawuh punya ayahku atau fun family punya budeku, aku sedikit banyak sudah merasakannya. Dan cita-cita pengakulturasian antara keduanya idealis kurasa. Tapi jauh dari itu, aku masih berawal dari titik. Belum berpijak pada piramida-terasering yang waktu itu kukagumi.
Tentang pribadi macam mana yang layak melahirkan generasi emas milik agama dan bangsa. Pribadi, ya! Kukira kebermulaan titik pribadi memegang sebagian andil. Dan, jika aku boleh berpendapat tentang cinta, jangan terlau terpengaruh pada koar-koar nama cinta yang kerap diangkat temanya di layar kaca. Ketika kita survei lapangan, apa 100 % itu adanya? Tidak.
Setahap, sefase, namun runtut. Tangga terasering yang membentuk piramida itu nampak anggun. Berbalut kemeja kabut yang putih dan meninggalkan kesan lembut. Yang kusimpulkan, Semua itu... berawal dari titik.


JURNALISME NARASI (TERCENGANG // MASIH TERCENGANG // WAJIB TERCENGANG)

#Tercengang
                Jogja sudah membelalak di depan mata. Candi Prambanan di kanan jalan menyapa, mengucapkan salam seribu arca. Meskipun begitu, kami tetap harus menaiki Trans Jogjakarta.
                Bapak-bapak dengan baju batik yang terlihat lelah itu mengambil sebuah kartu. Ketika mesin itu berbunyi, satu-persatu dari kami dipersilahkan masuk. Tentunya setelah membayar Rp.3000,00 setiap orang. Satu, dua, lalu giliranku. Plang besi kecil itu tak mau bergerak. Akunya ya tetap diam, wong ceritanya sok menaati peraturan.
                “Langsung masuk aja mbak,”bapak-bapak itu melongok.
            “Nggak bisa, pak!”                                                           
                Eh, telisik pake telisik ternyata plang itu tinggal didorong. Whoa! Ini membuatku terlihat katrok bin ndeso. Spontan saja dua makhluk yang sudah berhasil masuk itu menertawakanku. Ya, maklum aja.. Pati sama Salatiga belum terjamah bus Trans, saudara!
                Setelah itu?
                Kami masih harus jalan kaki, lagi. Seperti yang sudah saya i’lan-kan ke dunia fb, efek menaiki bus Trans adalah berjalan kaki. Karena ya, gedung UIN yang sebegitu megahnya sudah terlewat tapi kita tetap diturunkan di halte. Absolutely, girl!
                Di gedung study center yang sangat ramai itu aku tercengang. Karena banyak mahasiswa/i yang masih beraktifitas. Selebihnya, karena merasa artikel yang berjudul “70 % MAHASISWI UIN JOGJA SUDAH TIDAK PERAWAN” mulai masuk akal. Masalah faktanya, I don’t care.
                Paradigma ‘tercengang’ yang kedua adalah ketika kami memasuki kantor LPM Arena. Penghuni dinding yang berjubel berlomba-lomba menyalami dan menyelami batas alam sadar kami. Guess what! That’s so incredible view.
Anak pers yang identik dengan menulis itu terbias pada tulisan tangan (dalam tanda kutip, grafiti bebas) di hampir seluruh dinding kantor LPM Universitas tersebut.
“Maaf kenyamanan anda terganggu,”
Sepertinya tulisan itu yang lebih subjektif, sekaligus atraktif. Tapi, yang membuat greget adalah corat-coret itu bersifat membangun. Sejenak aku rindu dengan kantor di dekat tangga yang kadang kala kotor itu.
***
#Masih tercengang
Kami tiba di sebuah balai desa yang gelap di sekelilingnya. Wajah-wajah asing menggerayangi kelima sosok yang hijrah dari Salatiga. Well, we don’t have choice. Eksistensiku dan kedua teman perempuanku sebagai peserta mengharuskan kami membaur. Mengakulturasikan antara a bit of experience and new experience.
Tentu saja mereka berdua, slundhap-slundhup saat akan memasuki ruang yang sedang dalam acara itu. Nonbar, nonton bareng dari LCD yang sinarnya dibiaskan langsung ke tembok. Lalu tibalah  waktunya makan malam.
Tercengang yang kesekian adalah, alternatif piring yang diganti kertas minyak itu berjajar memanjang. Diatasnya, nasi putih yang membentang ditaburi sayur kangkung dan kerupuk. Kanan kirinya, terkontaminasi tangan-tangan yang (kukira) sedang kelaparan.
Untuk selanjutnya, aku ikut makan. Sambil menghayati masa dua tahun silam, ketika malam selepas pengayaan di pondok putri. Entah syukuran apa, aku lupa. Yang jelas, suasananya lebih hebring dan mengena.
“Tadi itu, es nya udah tak buntel pake handuk. Tapi wong lama, jadinya udah agak cair,”Ungkap personel pondok putri yang juga teman sekelasku.
Sejenak aku speechless. Ah, susahnya jadi anak pondok. Mau begini susah, mau begitu susah. Tapi yang membuat terasa ‘agak’ menyenangkan adalah ketika keadaan benar-benar memaksa mereka untuk bersusah payah, mereka selalu ada alasan untuk tertawa.
“Jangan-jangan budaya makan seperti itu yang membawa juga alumni sekolahku,”Tebak hatiku.
According to me, itu sah-sah aja. Pasalnya, secara gituh! Ini adalah perekrutan lembaga pers mahasiswa tingkat  universitas. Tapi nyatanya secara teknis makan, berpakaian maupun sistemnya lebih mewah acara perekrutan LPM DinamikA-ku yang notabene-nya satu-satunya LPM di STAIN Salatiga.
Tapi, usut punya usut... setelah aku meng-observasi dan sedikit mem-paparazi bagian dari mereka, ternyata mulai dari organisasi intra-ekstra sampai organisasi akademis-non akademis memang menggunakan metode yang seperti itu. Emh.. it’s seems comfortable, di bidang pengelolaan administrasi maksudnya.
Perjalanan empat jam yang agak menjemukan tidak berefek, pemirsa! Kami tetap harus mengikuti materi ke-Arena-an yang menurutku tidak begitu penting. Bukan apa-apa, hanya saja ini kan lebih ke organisasi yang aku sendiri bukan anggotanya.
***
#Wajib tercengang
Dan rupanya, materi yang (kukira) bersifat individualis itu membuatku wajib tercengang.
“Harus mencakup tiga pertanyaan. Alasan kenapa peristiwa tersebut bisa terjadi, alasan kenapa peristiwa tersebut dijadikan sejarah, dan bagaimana poin-poin tersebut dapat mempengaruhi kondisi sekarang,”Ungkap Mas Jamal yang sebagai pemateri, yang juga sebagai PU, dan yang memergoki aku adalah kembarannya Niha.
Ya, dia itu satu MA sama aku. Temen-temen juga bilang kalo kita mirip,kataku dengan berbinar-binar. Dan itu mungkin salah satu alasan kenapa sedari tadi orang itu melihatiku melulu.
Mulai dari tahun 1900 yang memberlakukan politik etik, kebangkitan nasional, merchantinisme, liberal, hingga kelahiran pers. Ada satu lagi greget yang membuatku untuk lebih semangat menulis. Waktu itu, yang menulis di surat kabar hanyalah orang-orang yang terdidik.  Dan ketika ada pembredelan pun tetap saja berjuang kemudian menyusun surat kabar dengan brand nama yang berbeda.
Tapi di zaman yang sudah secanggih ini, motivasi untuk menulis masih kalah dengan perkara sepele yang lain. Benar kata Bung Karno, bawalah Jas Merah kemana saja meski sedang hujan. Hujan HUJATAN (HUru-hara Jejaring sosial yang AkuT dan berkesinambungAN).
Ah, benarkah Bung Karno pernah berkata seperti itu? Bahkan, aku bukanlah saksi sejarah zaman itu.

Selasa, 21 Oktober 2014

JURNALISME NARASI (MALAM DELAPAN BELAS // HUJAN DAN DIARY)



#Malam delapan belas
Di sepertiga terakhir acara rutinan Al-Khidmah kampus malam itu, aku menerima sms dari Mas Nazil. Menawariku untuk ikut PPMTD yang diadakan oleh LPM Arena UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta. Benar,kan! Tampaknya dia merasa agak bersalah karena tidak bisa memberangkatkanku ke Medan beberapa hari lalu.
                Karena lelah, ngantuk dan bingung, aku dilanda dilema. Antara muroja’ah Al-Muzammil yang paginya pukul 08.40 disetorkan, menggarap tugas vocabulary I yang menumpuk empat pertemuan silam, menggarap Phonetic & Phonology di berlembar-lembar kertas polio, atau packing-packing barang beserta materi yang akan dibawa ke Jogja besok.
                Daripada membiarkan malam terbias dan larut, akhirnya kuputuskanlah untuk mencuci baju yang sedari hari minggu menunggu. Sungguh, pilihan yang tepat. Sekaligus tidak nyambung.
                Giliran menyusun planning. Planning A jika jadi berangkat, maka aku hanya perlu muroja’ah dan bisa baca-baca materi dalam bis. Tapi planning B jika aku tidak jadi berangkat, maka aku muroja’ah, terpaksa tidak berangkat (lagi) pertemuan vocabulary I dan ngebut ngerjain tugas Phonetic & Phonology.
                Pertanyaannya, kenapa di pergantian malam menjelang pagi ini bukannya aku istirahat dan menelusuri alam mimpi tapi, malah membuka laptop yang batrenya tinggal 22 % dan menuliskan beberapa abjad diatas di MS Word.
                Entahlah, mungkin aku tak segaja teringat dengan tingkah JK Rowling yang sampai menulis diatas tissue hanya demi agar ide nya tidak menghilang begitu saja. Sementara aku? Hanya berharap agar kata-kata diatas tidak terlalu memenuhi ruang pikiranku. Hanya itu,mungkin!
                Tiga dari empat temanku sudah terkapar. Dan tampaknya aku ingin segera menyusul.
Malam, bisikkan pada pagi tuk jangan tergesa-gesa berganti.
***
#Hujan dan diary
Hujan melepas kepergianku. Hujan kedua yang turun setelah satu oktober lalu, pergantian musim yang diprediksi dan kebetulan saja ngepasi. Dasar anak pers, aku diminta untuk mencatat detail keberangkatan. 15.50-Jalan tembus-Taruna hijau.
Tapi sayang, hujan hanya mau mengantarku sampai ujung terminal Tingkir yang masih daerah Salatiga itu. Dan aku? Segera memejamkan mata. Bukan karena melukis harapan untuk bertemu hujan, tapi lebih pada agenda take a rest yang lebih familiar disapa ‘tidur’ itu.
Angin panas menerpa, karakteristik kota ini mulai memperlihatkan watak aslinya. Namun, batinku segera diam merutuki suhu yang berbeda segera setelah kulihat sebuah bangunan yang menarik. Menarik untuk dikunjungi, dinikmati dan dipuji. Plang bertuliskan “Terminal Tirtonadi” menolak hipotesisku yang menamai tempat itu airport.
812 hari yang lalu, aku pernah numpang bernafas di kota ini. Suasananya? Aku tidak begitu merasakan ada sense yang berbeda. Mungkin karena habitat asliku memang sama-sama panas. Tapi, bukan itu.
Suasana ‘wah’ di Asrama Haji Donohudan yang tepatnya berada di Boyolali dan semaraknya Stadion Mahanan Solo yang ‘ehem’ di malam itu menarik kesadaranku. Bukti otentik bahwa aku pernah mencuri oksigen disana memang tidak ada, kecuali RUU (ragam urut-urutan) kehidupanku yang terpaku lembut di segebog buku bersampul hitam agak mulus.

“Trus kelompokku maju. Masyaallah.. rasane deg-deg serr! Aku kudu menangiiis, dan celakanya aku lupa memperkenalkan diri. Ya, nek menurutku mungkin yang buat nilaiku sedikit itu proposal and produknya. Tau gini kejadiannya, aku pengen pake mesinnya doraemon buat mutar waktu,”Kata buku diaryku yang bertanggal 14 July 2012 itu.
Aku agak tersenyum, dan melanjutkan perjalanan.