Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Senin, 22 Desember 2014

Terkadang Jarak Membuat Kita Dekat





                Kami berempat naik bus yang kelihatannya bersiap memutahkan penumpangnya itu. Aku tak punya pilihan, maka akulah yang naik paling terakhir. Tubuhku meringsek masuk, kepalaku tenggelam diantara bahu-bahu orang asing. Ke depan aku takut, ke belakang apalagi. Maka aku memutuskan untuk berhenti bernafas karena ruang rupanya tak memberiku kesempatan untuk memandang siapa pemilik bahu kokoh nan kekar di hadapanku.
                Namun, aku ditarik olehnya. Diantara tiga anaknya, aku-yang sulung-justru yang didekapnya. Beliau tak membiarkan aku berdiri rapuh diantara dua ketakutan. Harun, adik bungsuku itu pasti akan protes sejadi-jadinya. Namun, beruntungnya dia sudah diungsikan dan sedang di pangkuan ibu-ibu di seberang sana.
                Lain lagi dengan dek Mahfud, adikku yang tengah menempuh kelas XI itu pas di depan pintu bus. Rintik-rintik hujan rupanya tak membuat ia bergeming.
                “Ma’, kemarin kran Ma’had kan putus. Terus tak panggilin bapak-bapak tukang PAM. Eh, pas tak anter ke kamar  mandinya beliau tanya, asli mana mbak? Ya tak jawab dong, Pati, Pak! Terus bapaknya bilang, ooh pantes kok cantik. Menurut legenda sih, mbak.. kalau orang Pati itu masih keturunannya Roro Mendut,” ungkapku malam sebelumnya. Saat menemani ibuku nonton sinetron.
                 Beliau tersenyum, aku terbahak.
                “Ahaha, dusta banget kan!”
                Beliau selalu mengajariku untuk tidak Ge-Er.
Dan..maksudku juga bukan itu kok. Hanya membuktikan bahwa engkau tak menyesal melahirkanku. Senggaknya ada yang bilang bahwa anakmu cantik. Meskipun, kuprediksi bapak tukang kran itu sedang setengah ngelindur.
                “Lagi, pas Seminar Nasional yang dihadiri orang nomor satu di TVRI Jateng. Pas itu, aku tanya sama Si Bapak, ‘Saya kan mulai dunia jurnalistik dari pers kampus, terus bagaimana caranya agar saya dan teman-teman bisa juga berkontribusi untuk negeri melalui televisi?’ si bapak jawab, lhoh dunia jurnalistik kan memang dasarnya, Mbak. Tinggal aplikasinya aja ke visual atau broadcast. Mbak juga bisa jadi presenter,kok. Apalagi mbak cantik..”
                Suara bapak itu terputus oleh sorakan para peserta seminar. Dengan gaya ‘ketidakterimaan’ mereka, aku tahu bapak itu sedang berdusta! Ah, tapi biarlah. Tetap saja kuceritakan tragedi tragis ini pada ibuku yang menahan tawa itu.
                Selagi aku bisa melihat senyum lepasnya dan mendengar nasihatnya yang selalu mencemaskan pergaulanku itu. Selagi aku masih bisa bersanding dan menatap matanya yang tampak lelah itu.
                Beliau jatuh bersandar padaku, aku menjatuhkan pandanganku ke raut mukanya yang mulai menua. Ma’, saat tubuhmu mulai kehilangan fungsinya nanti.. apakah aku akan ada disisimu seperti ini? Batinku, sok visioner.
                Pagi berlinang dingin, kami memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan memanen cabe di sawah. Letak sawah itu hanya beberapa meter di barat rumah nenekku. Setiap aku dolan ke Temanggung, sebisa mungkin aku tak pernah absen mengunjunginya. 
keceriaan jagoan-jagoanku.. tempatnya, cocok buat selfie 'kan?

                Sawah.. tempat selfie yang indah. Eeh, bukan seperti itu, kok! Memang sih, dominan warna hijau dengan background beberapa siluet gunung dan birunya atap langit membuatku tak ingin hengkang dari mata kamera. Tapi sense-nya ituh hlo!
                Dan disela-sela kami memanen cabe, selalu ada saja bahan untuk mendekatkan hatiku dan hati ibuku. Pasti! Dengan senang hati aku pasti senang menghabiskan waktu hanya berdua dengannya. 
ya, ini dia ibuku yang sedang memanen cabe

Aku bukan orang yang dengan blak-blakan bilang aku sayang ibuku. Menurutku, rasa yang seperti itu terlalu sayang untuk diungkapkan dengan untaian kata. Biarlah mata, bibir dan senyum ini yang bersua. Mengutarakan apa yang menggelayut dengan mesra.
                Sering, bus yang kami tumpangi tiba-tiba mengerem mendadak. Maka tak tanggung-tanggung tubuhku yang kata orang ‘langsing’ ini tentu terjepit sakit. Namun, untuk saat ini sakitku sedang melancong entah kemana. Mungkin saja ikut menyimak guyonan dan curhatan ibuku yang sedang mendekapku. Suaranya berpendar tak mengitari bahu-bahu orang asing. Berbisikpun, telingaku menangkapnya.
                17 tahun aku dibawah pengawasan ibuku, namun.. tak pernah aku melihat rindu dan sayangnya membuncah tercurah sepenuhnya untukku. Hatiku terkulum, semenjak liburan lebaran itu, aku belum bertatap muka dan berbagi rindu ini dengannya. Terkadang jarak membuat kita dekat. Jarak, dalam interpretasi ini.. ah, aku tak lagi bisa melukiskannya.
                “Bawen, Bawen..” suara kondektur bus yang sama-sama terjepit itu membuat momen ini kuyu.
                Segera aku berbalik 90 derajat dan mengincar telinga ibuku. “Ma’.. selamat hari Ibu, nggeh”
                Pipi kananku dikecupnya, kedua mataku menangkap sekat bahagia di kornea matanya. Sudah kubilang, kan? Bahkan kata-kata kehilangan kekuatan untuk mengungkapkan rasa.
                Aku turun, setelah mengecup pipi kirinya dan melempar senyum.
uchibbuki, ya ummiy