Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Kamis, 15 Januari 2015

EPISODE HARI INI (LAST PART)

Setelah tanya kurang lebih tiga kali, sampailah kita berdua di Unnes tercinta. Tadaaaa!

Karena kita memang belum pernah mengambah tanah Unnes, maka dengan gaya sok pede plus celingukan kita melaju ke tempat tujuan. Jalan beraspal itu menanjak naik. Menyisakan kenangan memilukan sore itu.
Karena masing-masing dari kita sudah terlalu malu untuk bertanya, maka kami putuskan untuk sok punya ‘indra’ backpacker-an. Nyatanya, kita pun tersesat lagi.
“Mbak, kalo kampus Unnes itu mana ‘sih?” tanyaku setelah berbasa-basi pada dua orang perempuan berhijab yang (tentu saja) tidak kukenal.
“Itu mbak, naik aja terus.. ntar ngikutin jalan. Nanti ketemu lampu merah,”
Ngek-ngok! Gueh kan tanya Unnes. Bukan lampu merah, keles..
Tapi kitanya ya nurut aja. Wong saking malunya buat tanya orang lagi. Untung aja nggak ada orang asing tanpa kerjaan yang membuntuti kami berdua. (eh? Lagi Ge.Er?)
“Mbak Iza!!”
Aku menoleh. Mana ada orang Unnes yang kenal seorang kuper, pendiem, sama sekali unfriendly kaya aku?
Mbak Faza? Bukan, dia di Jogja. Aku sejenak berpikir, dia siapa?
 Kejadian ini mengingatkanku pada saat aku dan rombongan mengunjungi ponpes Tegalrejo yang di Magelang itu. Dia juga meneriakkan nama cantikku. Seorang lelaki dengan kacamata dan sarung kotak-kotak (Karena saya nggak menyebut baju, jangan berpikir dia nggak pake baju, ya!). Eh, bukannya aku menyahut atau melontarkan pertanyaan sederhana.. tapi malah kabur. Hh, dasar pemalu!
“Mbak Hikma??”
Aku menemukan mentari yang sedang menutup diri. Stok senyum terkembang. Melebar, senang. Ternyata dia teman RA (Raudlatul Athfal) ku dulu. Asiik, punya temen!
Akhirnya, aku diantarnya ke gang nangka yang kami tuju. Ahh, sore yang dipenuhi oleh orang-orang baik. Barokallahulakum.
***
Namanya juga area kos-kosan. Ya pasti rame mahasiswa-mahasiswi yang hilir mudik. Suasananya tentu berbeda dengan Salatiga tercinta. Antara warung makanan perut dan warung makanan handphone sebelas duabelas. Sama banyaknya, sama sesaknya.
 Aku menikmati telur penyet yang dipanggang itu. Lalu mengaduk-aduk jus strawberry sambil melepas rindu. Lagi-lagi liburan semester 2 kemarin adalah terakhir kita bermuwajjahah.
Aku tidak sengaja saja dekat dengannya. Hanya karena dia belakang bangkuku dan terlihat riang gembira setelah aku bercas cis cus sana-sini. Dan mulailah waktu itu dia yang pendiam membuka tabir suara. Hingga curhat sepanjang masa yang sampai detik ini masih sering kita lakukan bersama.
 “Kira-kira kita nanti bisa kayak gini lagi nggak, ya?” tanyanya saat pulang dari pantai suatu hari saat kami masih duduk di kelas XI.
“Kalo kita ‘jodoh’ pasti dipertemukan lagi kok. Percaya deh.. meskipun rukun iman nggak ada yang nyebutin kudu percaya sama Izzah Khoiri yang cantik jelata ini,”
Tawanya mengudara. Dia setengah bangun, menghujaniku dengan rumput hijau yang tanpa pewarna buatan itu.
“Serasa kaya di film-film India, ya” ungkapku yang mencoba merasakan kenikmatan berbaring di hamparan rerumputan yang tak bergoyang.
Maklum, kan.. film India masih menjadi Hits tersendiri di sudut hati kaum wanita. Tapi, jangan harap ‘Jodha Akbar’, ‘Mahabarata’ ataupun ‘Doom 3’ yang jadi trending topic. Melainkan ‘Mohabbatein’ atau tetap saja ‘Kuch-Kuch Hotahai’ yang aku sendiri lupa ceritanya.
Dia rebah di sisiku. Mencoba melukis langit mimpi dengan kuas harapan. Ketika kita mengeluarkan satu senjata andalan kita untuk berfoto ria (Waktu itu ‘selfie’ belum memasyarakat ya, teman!) tiba-tiba Elly, temanku yang jauh di depan kami berteriak..
“Heeei.... tadi ‘kan disitu ada ularnya!!!”
Jebrettt.
Ada yang membidik rasa kemanusiaan kita. Kita lari pontang-panting sambil meninggalkan jejak tawa. Jejak yang sampai saat ini hujan saja tak mampu menghapusnya.
***
Karena aku sudah makan dan gerah tak tertahankan, kucoba mencari angin di depan TV (yang entah berapa inchi, aku lupa mengukurnya) di depan kamar kos shohibku itu. Sambil mendonorkan darah secara free (pada nyamuk-nyamuk jalang yang rupanya menyukai kaki jenjangku) aku menyimak acara TV dan bertukar cerita malam. Sambil juga, membuka MS Word untuk memberi ruang pada otakku yang terus-menerus update status. (uh, dasar wanita sambilan)
“Say, aku besok pulangnya ba’da Shubuh ya!”
Itu lebih ke pernyataan. Bukan pertanyaan.
“Kenapa?” seseorang yang kupanggil ‘say’ itu memandangku. Aku hanya berdoa, semoga dia tak tertarik padaku. Hh, Ge.Er lagi?
“Tau sendiri ‘kan.. kalo aku belom punya SIM. Kalo ditilang sama pak polisi yang muda, ganteng dan rajin ibadah jadi belum bisa diajak ijabsah,”
Dia menowel lengan kiriku. SIM yang kumaksud itu, surat izin menikah. Ahh, emang ada? Ada dong, ditandatangani langsung sama bapak masing-masing lagih.
***
Say, di almarimu yang paling bawah aku ninggal sampah.

SMS (Short Messages Service) itu kukirim setelah sampai di Ma’had tempatku bernaung. Tentu saja setelah melewati jalan Semarang-Salatiga yang lengang kaya kuburan. Ya jelas, wong anak sekolah sama orang kerja belum pada berangkat. Pak polisi yang muda, ganteng dan rajin ibadah itu juga masih tidur.

Ehh, kamu ngapain? Aku lagi dikampus ini.

Ya udah, diliat ntar aja.

Sebuah mini novel dari stand Diva Press yang kubeli sorenya dan seperangkat kerjaanku kupersembahkan khusushon untuknya. Malam sebelum itu, selepas maghrib sampai jam 12 aku membuatkannya hadiah dadakan. Aneh sih, tapi seenggaknya kan hand made (menghibur diri sendiri nih, ye!). Terlepas dari itu, sampai tulisan tak berkerangka ini dibaca olehnya dan telah menghabiskan satu gulung tissue toilet (bukan karena terharu ya.. tapi karena pilek) aku belum memberitahunya apa fungsi benda yang menyaingi manis-ku ini.
Ini bacanya 'Happy Birth Day' ya.. anggep aja gitu. 
Jadi,.. yang bawah adalah tempat jarum penthul sementara atasnya itu bros dari tutup botol bekas. Sekarang ngaku deh. Selain sarimbit, juga kelihatan sweet abees kan? (edisi maksa)


Dan,
Begitulah tasty-nya di sepotong episode hari ini. Karena ini adalah last part, maka.. see U in the another episode saja. Maka,  persahabatan mempunyai rasa yang unik untuk bertukar cerita.
***
Sahabat tidak mengisi harimu saat kau minta. Apalagi saat kau sedang enggan dan justru melabeli ke-ada-annya. Sedangkan kita? Mau tidak mau harus tertunduk malu mencoba mengejar keberadaannya. Naas memang, tapi tidak untuk cerita dalam episode hari ini.