Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Kamis, 20 November 2014

19


                Menurut hematku, dia lebih suka bergumul di bawah hangatnya selimut dan membatasi riuhnya kenyataan ini dengan alur mimpi yang fiksi. Begitu juga dengan besok, besok, dan besoknya lagi. Sampai semua itu bercerita bahwa tak pernah terjadi apa-apa.
                Terima kasih atas ketidakpedulianmu, Azarine.... Ini lebih membuatku tertaut pada kenyataan yang baku.
                Huh, aku berbohong!
                “Lika.,”                                                      
                Hening.
                “Lika.,”
                Hening. Lagi.
                Air yang menerobos di tengah kegelapan berjatuhan semaunya. Jalan, atap, dan dedaunan basah menuai rekah. Apalagi hatiku, perasaanku.
                “Lika ayo kita pulang,”
                “Dia pasti datang..”
                Sementara malam mulai menua. Selasar Kartini yang memanjang kini berangsur lengang.
                “Kamu bisa sakit!”
                “Aku sudah sakit sejak hari itu, Nisrina..” Nisrina mengatupkan payung putih transparan yang melindungiku dari anak hujan.
                “Apakah kamu lebih mempedulikan Azarine daripada dirimu sendiri?”
                Aku menghela nafas. Memalingkan pandangan di sisi kananku. Nisrina, yang berusaha menghalau dingin dengan hati menggigil.
                “Ini adalah hari ulang tahun persahabatan kita. Aku tahu dia pasti kesini. Seperti yang sudah-sudah.”
                “Tapi ini sudah hampir pagi! Pasti dia sudah sampai airport,”
                Aku beringsut meraih kursi taman yang permanen itu. Mengendalikan emosi yang berjibaku diantara senyum sayu. Aku kasihan pada Nisrina, yang basah terkena lelehan air mata hujan.
                “Aku hanya tak ingin kehilangan dia,” sahutku menerawang.
                “Tak ingin kehilangan dia?” dengus Nisrina.
                “Aku hanya tak ingin kehilangan dia dengan cara seperti ini.”
                Kami berdua sibuk dengan pikiran masing-masing. Tapi tetap tak keluar dari clue, Azarine.
                “Pintar itu tidak penting. Yang penting semangat!” Azarine mengerlingkan mata. Menafikan kenyataan yang menciderai rasa. Katanya waktu itu.
                Jangan bayangkan dia seorang gadis tinggi semampai, cantik-menarik, dan mempesona. Menurutku Azarine lebih dari itu. Meski secara fisik tidak, secara hati kuyakin pasti. Iya.
                Dia juga bukan tipikal kutu buku dan punya bakat ustadzah. Ceramah sana ceramah sini. Tidak juga selalu menjadi juara di setiap mapel dan menjadi anak mas para guru di sekolah. Entahlah, aku bingung menunjukkan sikap Azarine yang mampu menghidupkan hidupku.
                “Terakhir dia bilang apa sama kamu?” pertanyaan Nisrina menguap.
                Aku beranjak menuju tempat yang teduh. Tempat yang biasa dipakai Azarine, aku dan Nisrina jatuh-bangun bersepatu roda.
                Sekilas aku melihat buku bersampul flanel yang tak beraturan. Familiar sekali.
                “I..tu kan punya Azarine?” Nisrina berteriak.
                 Se-general apapun kisahnya, tak pernah sekali-dua kali dia memperbolehkan aku dan Nisrina membacanya. Ini sangat privasi.
19 May 2013
                Mentari terlalu lelah untuk diposisikan di ranah diksi. Begitu juga dengan siang, senja dan malam. Lalu, ketika kuadron masa mengekploitasi segala? Harus kularikan kemana percik mimpi yang masih jadi bibit?

                Kesemuanya ditulis di tanggal 19, angka favorit Azarine. Dan selama 19 bulan itu, terjebak pada tanggal ini. 19 November 2014. Tepat di hari ulang tahun persahabatan kita yang ketiga.

19 November 2014
                Ketika aku tersadar bahwa aku sedang melakukan perburuan hebat, aku merasa seakan-akan jemari lentikku cepat menggapai dan sampai. Namun semua itu hanya oase fana di tengah mayapada. Tengoklah, keluarlah dari tempurung yang mengkungkungmu tanpa cela. Seakan-akan kaulah satu-satunya alasan kenapa Tuhan menciptakan tujuan.
            Malika, Nisrina..             
            Hadiahi persahabatan kita dengan nyata-nya mimpimu. Yang meski orang bilang hanya kembang tidur, yang meski orang bilang hanya lamunan ngawur.
            Percayalah, suatu saat nanti waktu akan bersua. Membiarkan kita berdiri diatas mimpi masing-masing.
 Dengan takdir yang membawa kita kembali bersama.

Azarine Sharaha
                “Aku tahu dia punya alasan..”
                Langit Salatiga selalu merona. Mungkin dia tersipu. Atau memang malu pada Azarine.
                “Sudah?” tanya Nisrina tanpa memandangku.
                Aku beranjak, menggandeng tangan Nisrina yang beku. Dan tertaut pada jam digitalnya
                00.19

                Angka favorit Azarine. Lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar