Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Kamis, 25 Juni 2015

(Bukan) Filosofis dalam Sepanci Pure Dawet


Ini dia pure dawet yang akan kita perbincangkan

Sebelum adzan maghrib, adzan yang ditunggu-tunggu umat manusia di bulan Ramadhan berkumandang, maka izinkanlah tangan ini berbagi cerita tentang rasanya berbuka puasa yang jauh dari keluarga. Revisi: jauh dari ibu yang selalu menyiapkan hidangan di atas meja.

Setelah beberapa hari sahur dan buka puasa sendiri, pada akhirnya punya partner juga untuk melaksanakan ibadah masak dan makan berjama'ah. Bahkan senang yang tak terkira itu ditandai dengan eksistensi sepanci pure dawet yang dicampur rumput laut.

Pure dawet? begini ceritanya...

Kala siang yang tak terasa panjang, seorang gadis dengan sepeda motor (kepunyaan temannya) baru pulang dari kampus satu kemudian mampir di sebuah warung sayur. Untuk perlu apa ia ke kampus satu? entahlah, ia sendiri sudah lupa. Maklum lah otewe tua, tahun ini rencananya ia akan berkepala dua. Dengan klise dalam sinetron yang agak lebay segera ia tersadar, "Kepala dua? Selama ini udah bisa apa aja ya?"

Sudahlah, lupakan Si Kepala dua-

"Ini berapa, Bu?" tanya Sang Gadis memegang seplastik dawet warna-warni di depannya.
"Seribu, Mbak"

Biasanya kalau aku beli di rumah cuma Rp.500,00 dan itupun lebih banyak dari ini, analisanya.

Kemudian analisanya berlanjut. Merah, hijau, apa yang putih? Bagus! sekarang ia terkena sindrom dilema level pertama.

Yang merah dan hijau pasti bagus warnanya jika dipadukan dengan santan yang putih semu coklat karena berbaur dengan gula jawa. Tapi apa kita pernah tahu dampak jangka panjang jika warna-warna itu masuk ke dalam jaringan usus wa akhwatuha?, kali ini analisanya tampak seperti praktisi kesehatan yang terkenal. Yah, mungkin agar demi kelihatan benar-benar lulusan program IPA.

"Kalau yang ini, Bu?" ia memutuskan untuk bertanya, agar punya banyak waktu untuk berpikir.
"Sama, Mbak"

Tanpa pikir panjang ia mencomot seplastik rumput laut yang baru saja ditanyakannya.

Sang Rumput laut lebih mengerti perasaanku. Ia tak membiarkanku larut dalam kebingungan dalam  memilih rumput laut. Antara yang merah, hijau atau putih.

(Tentunya) setelah membayar, Si Gadis membawa pulang bahan-bahan belanjaan sebagai syarat sah sebelum masak berjama'ah. Seperti layaknya sholat, maka pada kesempatan itu ia hanya ditemani dua orang. Tapi demi membuat sebuah perbedaan, kesemuanya pun jadi Imam. Imam dalam menjadi penanggungjawab masing-masing masakan.

"Kenapa kok dawetnya putih?" tanya Sang Imam yang menangani terong balado.

Ia sudah tahu jika tindakannya akan berimplikasi yang berujung demonstrasi militan. Maka dengan tenang ia menjawab, "Yang putih itu insyaallah lebih pure (murni) dari pewarna buatan..."

"Hidupmu itu udan putih abu-abu, suram! masa milih dawet juga yang suram?"

"Yang penting masa depanku enggak, week!"

......
(To be continued)


Jumat, 12 Juni 2015

Foto Ini Bercerita: Becak Cinta

Pada suatu hari yang cerah, sebuah kisah datang dari sepenggal perjalanan (rihlah) anak-anak Ma'had Putra-Putri Institut Islam Agama Negeri (IAIN) Salatiga.

Ber-background terminal kudus yang cerah nan panas, kita menuju lokasi makam Sunan Kudus yang masih harus ditempuh dengan tiga cara : jalan (hanya beberapa orang yang menempuh cara ini), naik becak (ini termasuk mayoritas), dan naik angkot (pas berangkatnya cuma sedikit sih peminatnya).

Melihat dari judul di atas, tentu saja sudah tahu 'kan guys kalo mau mengupas tentang becak? revisi: naik becak. revisi lagi: rasanya naik becak. Tapi kok judulnya becak cinta? ya, anggep aja saat naik becak jadi menebar cinta. whee, maksa banget sih!

Hmm, kali ini saya nggak akan banyak berkata-kata deh. Hanya menunjukkan via foto yang bercerita. check it out!
Ini edisi #SadarKamera sih, tapi tetep kewes kan?
Potoghrap (P): Sule
Models  (M): Hanik-Fita

Eksis dibalik jeruji becak
P: Sule
M: Za, Aziza sama unknown person

Mid-exist photos
P: Sulu
M: Ustadz Misbah dan Sabar

Very exist girls
P : Sule
M: 'Bu Lurah'  Mb Irma and 'Sie Bimbel'  Mb Yusi

Ceria
P: Sule
M: Kacang wa Aziza


'alim 'ulama
P: Sule
M: unknown person :v

Mana Kamera?
P: Sule
M: Anwar n si 'natural smile' fadil

two thumbs up
P: Sule
M: Saifun n Imam

Selfie di bawah lindungan payung becak
P: Za
M: Aziza, Za

kamera tersembunyi tadi ketahuan
P: Za
M: Mas Azhar n 'Pak Lurah' 

"Sulit untuk menentukan judul"
P: Za
M: Biela n Novia

Tadaa
P: Za
M: Sayfun n Imam

Pose dari kejauhan
P: Za
M: Aam n Bagus

from other side
P: Za
M: unknown person :v

Kamis, 04 Juni 2015

"Nano-nano" dari Interpreting Class

Semester empat, bagi mahasiswa TBI (Tadris Bahasa Inggris) adalah semester yang penuh tantangan. Kita dihadapkan pada sesuatu yang mau-tidak mau, siap-tidak siap harus, kudu, muthlaq, kita laksanakan. Mulai dari mata kuliah al-Qur'an yang harus setoran tiap senin, mata kuliah writing yang juga membuat tugas setiap selasa, bertemu dengan Javanese culture beserta dosen jawi yang begitu gematinya di hari rabu, kelas interpreting yang harus praktek oral translate pada hari kamis, speech dalam makul public speaking dengan tema yang berbeda tiap kamis, dan bermuwajjahah dengan TOEFL setiap hari jum'at. Hhhh, what a tired week, right?

Tapi, "Jangan sampai kuliahmu mengganggu pendidikanmu". Rupanya kata 'sentilan' yang tertulis bebas di dinding kantor LPM DinamikA itu menampar kesadaranku. Wuushhh! alhasil, tidak ada yang bisa kita lakukan selain berbahagia dengan rutinitas tersebut.

Kali ini, saya mau cerita tentang "Nano-nano (slogannya yang terkenal dengan 'rame rasanya') " dari interpreting class. Ini bukan masalah makul tersebut yang lebih "Rame rasanya" tapi sekedar share apa yang telah terjadi di interpreting class  pagi tadi beserta amazing feel nya. 

Sekedar introduction, interpreting class itu mengajarkan tentang how to interpret the things (bagaimana menafsirkan sesuatu), dalam hal ini tentu bahasa inggris ya. Jadi, mata kuliah (yang diampu oleh Bpk. Faizal Risdianto yang kelihatan selalu 'bahagia' itu) membagi kita menjadi 4 kelompok. (Sekilas info nih, karena kita masuk dalam kelas khusus maka kebetulan sekelas kita hanya ada 8 orang). Dan itu berarti, setiap kelompok terdiri dari 2 orang saja. Tiap orang mempunyai dua tugas, yaitu menyampaikan speech (pidato) dalam bahasa inggris dan interpret (tafsiran) pidato temannya.

Jadi, pada pagi yang cerah tapi mendung-mendung gimanaa gitu, saya dan seorang teman saya mendapat giliran maju. berhubung status kita badal (mengganti) teman yang seharusnya maju minggu ini, maka prepare pun hanya seadanya saja (Haa, alibi ding!) 

Setelah latihan sekali (karena malamnya ada rapat mendadak dengan direktur ma'had dan paginya konsentrasi menghafalkan teks saya sendiri), akhirnya berangkatlah kita dengan rasa pede yang setinggi-tingginya.

"First, thank's to Allah has given us mercies and blessings so we can attend at this moment without any problems and obstacles"

Teman yang ada di sisi kiriku menerjemahkan. Tentunya, sampai di introduction masih belum ada masalah.
                                                                              
"As the student of university, our intelligent must be better than other people...."

Ada satu catatan yang perlu diingat dimana saat kita menyampaikan speech kemudian langsung diterjemahkan per kalimat oleh orang lain itu rasanya kaya capek-capek naik gunung muria eh nyampe puncak nya langsung terjun bebas gara-gara ditinggal rombongan.

Belum lagi, saat macet melanda arus lalu lintas otak kita. Itu terkesan kejam pada memori ingatan. Sementara orang lain menunggu perkataan kita untuk diterjemahkan, sementara itu lisan menunggu sinyal-sinyal file hafalan.

“I have some problems when I reading book without nice picture,”ujar salah satu temanku dalam sesi pertanyaan.

Intinya, dia Tanya gimana caranya agar bisa membiasakan membaca buku sementara kalo liat buku yang kurang menarik aja langsung tidur. Grggr, kamu yang punya masalah tapi aku yang suruh nyelesain? Aarght, ahah, just kidding, man! :D

Nah itu nilai plus-nya, saudara.. dengan begitu kita berlatih berpikir cepat, mencari kata bahasa inggris yang cocok dengan ‘kekarepan’ kita dan ‘memaksa’ agar Si Penanya paham dengan jawaban bahasa inggris versi Indonesia kita. Aha! Nggak ding.

Dalam praktek itu, tentunya kita mendapat banyak pengetahuan karena dari masing-masing presenter membahas hal-hal yang berbeda. Juga, kita lebih tahu bagaimana cara menerjemahkan yang (mendekati) baik dan benar. Tidak jarang juga, kita keasyikan mendiskusikan hal-hal tersebut sehingga lupa jika tujuan utamanya adalah interpreting. Apalagi berkat 'bimbingan' dan beberapa tambahan khusus dari beliau yang terhormat dan selalu menghormati mahasiswa yang membuat kita lebih 'ngeh' dengan kelas ini.

Asik, Kan? Sekali dayung lima puluh pulau terlampaui. Nah itu dia “Nano-nano” dari interpreting class.

Asam, saat kita mempersiapkan bahan presentasi sampai mulut ini harus mengeluarkan berbusa-busa kata yang tentu saja takut jika banyak tenses yang salah.

Asin, saat kita menjawab pertanyaan teman-teman yang entah itu beneran tanya atau beneran ngerjain.

Manis, saat kita sampai pada titik dimana ‘pewe’ dengan apa yang kita sampaikan (baik sebagai presenter atau interpreter) dan lega setidaknya masa-masa kritis itu telah berakhir.

Itu baru kelas interpreting, kalau kelas yang lain? Just wait and see ya next time.


Ini hasil jepretan Dosen Interpreting kita lohh. baik yah, ahahha