Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Senin, 27 Oktober 2014

WIFI MA’HAD SEDANG LANCAR, LANGIT SALATIGA MASIH MERONA, DAN..



Kakiku mengendap-endap, tanganku meraba pada gembok yang bergelantungan dibalik gerbang Ma’had putri yang agak usang. Ini bukan pertama kalinya aku terlambat pulang, tapi rasa rikuh tetap mendera.
                Pengait yang bercokol di kaki gerbang kuangkat pelan-pelan. Srekkkk, gerbang itu berteriak memanggil santri ma’had agar memergokiku.
                “Baru pulang,mbak?”Ujar Ifa yang kerap dipanggil dengan sebutan mami itu.
                Aku bukannya sok terkenal, tapi kebetulan saja menempati jabatan sekretaris yang berhubungan langsung dengan data-data mereka.
                “He.em,”Jawabku, sok manis tapi wagu abis.
                Kulepas sepatu balet-karet yang hampir setiap hari menyusuri sudut kampus,menjinjingnya lalu menempatkannya pada save area.
                “Assalamu’alaikum..,”
                Keempat temanku sedang beradu argumen, sambil tertawa-tawa tepatnya. Sekilas ini membuatku iri. Kesemuanya menduduki spring bed yang tampak nyaman sambil memegang materi untuk UTS besok.
                “Kae to, nggak pake salam,”Celetuk Azizah, yang sedari tadi meng-sms-i aku. Pertanda ia khawatir kepadaku, menurutku sih.
                “Kalian sih yang nggak denger,”
                Aku melepas kaos kaki coklat yang jadi bahan bully-an teman-temanku tadi siang. Mengambil piring, nasi dan sambel terong secara berurutan. Waktunya buka puasa, padahal jam dinding di atas dua jendela kamar kami menunjukkan angka setengah sembilan (malam).
                “Tau nggak, aku tuh khawatir sama kamu... rapat kok nggak pulang-pulang. Bla-bla-bla,”Sedikit ceramah yang dilontarkan teman-temanku di tengah nikmatnya sambel terong dengan kerupuk.
                Rapat? Aku jadi teringat rapat perekrutan anggota baru LPM DinamikA yang dimulai sekitar jam 14.10 tadi. Awalnya, rapat yang juga dihadiri beberapa pengurus itu berlangsung panas. Namun, kukira itu juga bagian dari perangsang agar suasana jadi kondusif dan kritis.
                Rapat yang saking lamanya dan sampai break dua kali itu membuatku malas untuk menceritakan prosesnya. Yang jelas lobi sana lobi sini pasti terjadi. Sekecil apapun sebuah keputusan benar-benar diperhitungkan. Aku agak bersyukur, ikut perekrutan tahun kemarin. Tentunya tahun ini harus lebih ‘berjuang’ untuk bisa jadi crew magang.
                “Dan proses seleksi yang selektif ini juga memberikan makna tersirat agar PANITIA (ditulis dengan huruf balok) lebih kritis dan lebih progresif,”Teriak ketua panitia yang kerap dipanggil Uceng itu.
                Besok masih UTS, dan seharusnya aku belajar. Maafkan aku Mak, Pak.. aku hanya tak suka belajar. Toh yang terpenting aku bisa menggarap soal-soal UTS itu meski dengan headline ‘mengarang indah’.
                 
Terduduk di tengah pintu, membuatku menangkap sinyal wifi Ma’had yang sedang lancar, sambil melihat ujung langit Salatiga yang masih merona dan mengintip ceramahnya Oom Mario dengan subtitle ‘apakah jodohku sedang mencintai orang lain?’. Ah,sudahlah. Tampaknya aku harus pindah posisi. Lebih baik aku menyapa hermeneutika, oksidentalisme, pragmatisme, atau isme-isme yang lain dan pasti membingungkan itu.
                Keinginanku hari ini, semangat untuk tidak sekadar ‘berproses’. Aku ingin naik tingkat, lebih menekuni dunia kejurnalistikan dan keorganisasian. Malu juga jika ditanyai tentang cara buat artikel ga bisa jawab.
                Wifi Ma’had sedang lancar, langit Salatiga masih merona, dan saatnya mencetak bukti nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar