Karena proses dan tujuan lahir kita berbeda, pelatihan
yang berheadline “In House Training I” ini membuatku ingin menggigit jari.
Absolutely, kudu, harus! Aku membandingkan perekrutan
kader-kader pers LPM Arena UIN Sunan Kalijaga yang sedang berbaur denganku itu.
Mereka kritis, berpengetahuan dan selalu punya pertanyaan. Agak beda dengan
suasana perekrutan LPM ku.
“Kancah pemikiran alternatif,”Ucap mereka serentak.
Yang kutemukan waktu itu, ada dua lembar kertas
ditempel di dinding kaca kantor LPM Arena. Berisi informasi lulus tidaknya
seleksi perekrutan anggota baru. Selain itu, masing-masing nama yang dipajang
sudah dikelompokkan ke berbagai devisi.
Ooh, bahkan sampai disini aku belum mengerti
diriku ini devisi apa.
Tentu saja, dalam kesempatan ini aku harus kepo
sejadi-jadinya. Jadi, semuanya dimulai dari diskusi kamar yang kutempati tidur.
Kamar yang dua malam kutiduri itu kurang lebih berukuran 2x2 meter. Namun, yang
menempati kukira lebih dari 2x5 orang. Ketika tidur? Mirip dengan ikan pindang,
mirip sangat.
“Jadi, kita itu disuruh orasi di depan banyak orang.
Ada yang di depan gedung ini, gedung itu bahkan di depan klinik. How pity
we’re,”Terang Wulan, teman baruku yang gaya bicaranya seperti Nina.
Disitu, di titik itu mental kalian benar-benar sudah
diuji.
“Tapi, masalah subtansi ya kitalah yang menentukan.
Mereka (panitia_red) Cuma mau melihat, seberapa besar sih nyali kita buat masuk
dunia kejurnalistikan,”Timpal Kurnia.
“Aku sering ngeliput, kok. Tapi emang nggak ada media
buat publikasi. Makanya aku masuk LPM biar bisa kontribusi dan sebagai wujud
apresiasi,”
Ooh... mulia sekali tujuanmu, teman! Nggak heran lah,
banyak dari mereka yang nampak memanfaatkan kesempatan. Bagaimana juga, niat
dan minat mendapat pangkat yang memikat.
“Ketika kita dalam perahu dan ternyata perahu itu
bocor. Banyak dari kita yang justru melarikan diri, bukan berusaha
menambalnya,”
Ungkapan tersebut mewakili gambaran seorang tukang
becak yang membayar pajak, didistribusikan untuk biaya pendidikan. Namun,
anaknya sendiri tidak bisa mengenyam bangku sekolah. Ironis memang, lagi-lagi
harus ada korban kepentingan elit. Selalu ada egoisme dan serat kapitalis.
“Tidak tepat sasaran,”Kata pemateri Andir dan Ansos
itu.
Aku mulai memahami, proses lahir mereka berbeda.
Karena perbedaan tujuan tentunya. Kritik yang frontal atau ramah pada sosial.
Ah, aku semakin bingung pada cara berpikir para penggiat pers kali ini. Seperti
yang pernah Mas Nazil bilang, semakin tinggi mercusuar pers yang kita junjung,
semakin tinggi juga CCTV yang ikut berkecimpung.
“Selamat pagi, pers.. aku serasa baru mengenal
watakmu. Salam kritis progresif,”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar