Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Minggu, 26 Oktober 2014

JURNALISME NARASI (KARENA PROSES DAN TUJUAN LAHIR KITA BERBEDA


                Karena proses dan tujuan lahir kita berbeda, pelatihan yang berheadline “In House Training I” ini membuatku ingin menggigit jari.
                Absolutely, kudu, harus! Aku membandingkan perekrutan kader-kader pers LPM Arena UIN Sunan Kalijaga yang sedang berbaur denganku itu. Mereka kritis, berpengetahuan dan selalu punya pertanyaan. Agak beda dengan suasana perekrutan LPM ku.
                “Kancah pemikiran alternatif,”Ucap mereka serentak.
                Yang kutemukan waktu itu, ada dua lembar kertas ditempel di dinding kaca kantor LPM Arena. Berisi informasi lulus tidaknya seleksi perekrutan anggota baru. Selain itu, masing-masing nama yang dipajang sudah dikelompokkan ke berbagai devisi.
                 Ooh, bahkan sampai disini aku belum mengerti diriku ini devisi apa.
                Tentu saja, dalam kesempatan ini aku harus kepo sejadi-jadinya. Jadi, semuanya dimulai dari diskusi kamar yang kutempati tidur. Kamar yang dua malam kutiduri itu kurang lebih berukuran 2x2 meter. Namun, yang menempati kukira lebih dari 2x5 orang. Ketika tidur? Mirip dengan ikan pindang, mirip sangat.
                “Jadi, kita itu disuruh orasi di depan banyak orang. Ada yang di depan gedung ini, gedung itu bahkan di depan klinik. How pity we’re,”Terang Wulan, teman baruku yang gaya bicaranya seperti Nina.
                Disitu, di titik itu mental kalian benar-benar sudah diuji.
                “Tapi, masalah subtansi ya kitalah yang menentukan. Mereka (panitia_red) Cuma mau melihat, seberapa besar sih nyali kita buat masuk dunia kejurnalistikan,”Timpal Kurnia.
                “Aku sering ngeliput, kok. Tapi emang nggak ada media buat publikasi. Makanya aku masuk LPM biar bisa kontribusi dan sebagai wujud apresiasi,”
                Ooh... mulia sekali tujuanmu, teman! Nggak heran lah, banyak dari mereka yang nampak memanfaatkan kesempatan. Bagaimana juga, niat dan minat mendapat pangkat yang memikat.
                “Ketika kita dalam perahu dan ternyata perahu itu bocor. Banyak dari kita yang justru melarikan diri, bukan berusaha menambalnya,”
                Ungkapan tersebut mewakili gambaran seorang tukang becak yang membayar pajak, didistribusikan untuk biaya pendidikan. Namun, anaknya sendiri tidak bisa mengenyam bangku sekolah. Ironis memang, lagi-lagi harus ada korban kepentingan elit. Selalu ada egoisme dan serat kapitalis.
                “Tidak tepat sasaran,”Kata pemateri Andir dan Ansos itu.
                Aku mulai memahami, proses lahir mereka berbeda. Karena perbedaan tujuan tentunya. Kritik yang frontal atau ramah pada sosial. Ah, aku semakin bingung pada cara berpikir para penggiat pers kali ini. Seperti yang pernah Mas Nazil bilang, semakin tinggi mercusuar pers yang kita junjung, semakin tinggi juga CCTV yang ikut berkecimpung.
                “Selamat pagi, pers.. aku serasa baru mengenal watakmu. Salam kritis progresif,”

                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar