Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Sabtu, 25 Oktober 2014

JURNALISME NARASI (TERCENGANG // MASIH TERCENGANG // WAJIB TERCENGANG)

#Tercengang
                Jogja sudah membelalak di depan mata. Candi Prambanan di kanan jalan menyapa, mengucapkan salam seribu arca. Meskipun begitu, kami tetap harus menaiki Trans Jogjakarta.
                Bapak-bapak dengan baju batik yang terlihat lelah itu mengambil sebuah kartu. Ketika mesin itu berbunyi, satu-persatu dari kami dipersilahkan masuk. Tentunya setelah membayar Rp.3000,00 setiap orang. Satu, dua, lalu giliranku. Plang besi kecil itu tak mau bergerak. Akunya ya tetap diam, wong ceritanya sok menaati peraturan.
                “Langsung masuk aja mbak,”bapak-bapak itu melongok.
            “Nggak bisa, pak!”                                                           
                Eh, telisik pake telisik ternyata plang itu tinggal didorong. Whoa! Ini membuatku terlihat katrok bin ndeso. Spontan saja dua makhluk yang sudah berhasil masuk itu menertawakanku. Ya, maklum aja.. Pati sama Salatiga belum terjamah bus Trans, saudara!
                Setelah itu?
                Kami masih harus jalan kaki, lagi. Seperti yang sudah saya i’lan-kan ke dunia fb, efek menaiki bus Trans adalah berjalan kaki. Karena ya, gedung UIN yang sebegitu megahnya sudah terlewat tapi kita tetap diturunkan di halte. Absolutely, girl!
                Di gedung study center yang sangat ramai itu aku tercengang. Karena banyak mahasiswa/i yang masih beraktifitas. Selebihnya, karena merasa artikel yang berjudul “70 % MAHASISWI UIN JOGJA SUDAH TIDAK PERAWAN” mulai masuk akal. Masalah faktanya, I don’t care.
                Paradigma ‘tercengang’ yang kedua adalah ketika kami memasuki kantor LPM Arena. Penghuni dinding yang berjubel berlomba-lomba menyalami dan menyelami batas alam sadar kami. Guess what! That’s so incredible view.
Anak pers yang identik dengan menulis itu terbias pada tulisan tangan (dalam tanda kutip, grafiti bebas) di hampir seluruh dinding kantor LPM Universitas tersebut.
“Maaf kenyamanan anda terganggu,”
Sepertinya tulisan itu yang lebih subjektif, sekaligus atraktif. Tapi, yang membuat greget adalah corat-coret itu bersifat membangun. Sejenak aku rindu dengan kantor di dekat tangga yang kadang kala kotor itu.
***
#Masih tercengang
Kami tiba di sebuah balai desa yang gelap di sekelilingnya. Wajah-wajah asing menggerayangi kelima sosok yang hijrah dari Salatiga. Well, we don’t have choice. Eksistensiku dan kedua teman perempuanku sebagai peserta mengharuskan kami membaur. Mengakulturasikan antara a bit of experience and new experience.
Tentu saja mereka berdua, slundhap-slundhup saat akan memasuki ruang yang sedang dalam acara itu. Nonbar, nonton bareng dari LCD yang sinarnya dibiaskan langsung ke tembok. Lalu tibalah  waktunya makan malam.
Tercengang yang kesekian adalah, alternatif piring yang diganti kertas minyak itu berjajar memanjang. Diatasnya, nasi putih yang membentang ditaburi sayur kangkung dan kerupuk. Kanan kirinya, terkontaminasi tangan-tangan yang (kukira) sedang kelaparan.
Untuk selanjutnya, aku ikut makan. Sambil menghayati masa dua tahun silam, ketika malam selepas pengayaan di pondok putri. Entah syukuran apa, aku lupa. Yang jelas, suasananya lebih hebring dan mengena.
“Tadi itu, es nya udah tak buntel pake handuk. Tapi wong lama, jadinya udah agak cair,”Ungkap personel pondok putri yang juga teman sekelasku.
Sejenak aku speechless. Ah, susahnya jadi anak pondok. Mau begini susah, mau begitu susah. Tapi yang membuat terasa ‘agak’ menyenangkan adalah ketika keadaan benar-benar memaksa mereka untuk bersusah payah, mereka selalu ada alasan untuk tertawa.
“Jangan-jangan budaya makan seperti itu yang membawa juga alumni sekolahku,”Tebak hatiku.
According to me, itu sah-sah aja. Pasalnya, secara gituh! Ini adalah perekrutan lembaga pers mahasiswa tingkat  universitas. Tapi nyatanya secara teknis makan, berpakaian maupun sistemnya lebih mewah acara perekrutan LPM DinamikA-ku yang notabene-nya satu-satunya LPM di STAIN Salatiga.
Tapi, usut punya usut... setelah aku meng-observasi dan sedikit mem-paparazi bagian dari mereka, ternyata mulai dari organisasi intra-ekstra sampai organisasi akademis-non akademis memang menggunakan metode yang seperti itu. Emh.. it’s seems comfortable, di bidang pengelolaan administrasi maksudnya.
Perjalanan empat jam yang agak menjemukan tidak berefek, pemirsa! Kami tetap harus mengikuti materi ke-Arena-an yang menurutku tidak begitu penting. Bukan apa-apa, hanya saja ini kan lebih ke organisasi yang aku sendiri bukan anggotanya.
***
#Wajib tercengang
Dan rupanya, materi yang (kukira) bersifat individualis itu membuatku wajib tercengang.
“Harus mencakup tiga pertanyaan. Alasan kenapa peristiwa tersebut bisa terjadi, alasan kenapa peristiwa tersebut dijadikan sejarah, dan bagaimana poin-poin tersebut dapat mempengaruhi kondisi sekarang,”Ungkap Mas Jamal yang sebagai pemateri, yang juga sebagai PU, dan yang memergoki aku adalah kembarannya Niha.
Ya, dia itu satu MA sama aku. Temen-temen juga bilang kalo kita mirip,kataku dengan berbinar-binar. Dan itu mungkin salah satu alasan kenapa sedari tadi orang itu melihatiku melulu.
Mulai dari tahun 1900 yang memberlakukan politik etik, kebangkitan nasional, merchantinisme, liberal, hingga kelahiran pers. Ada satu lagi greget yang membuatku untuk lebih semangat menulis. Waktu itu, yang menulis di surat kabar hanyalah orang-orang yang terdidik.  Dan ketika ada pembredelan pun tetap saja berjuang kemudian menyusun surat kabar dengan brand nama yang berbeda.
Tapi di zaman yang sudah secanggih ini, motivasi untuk menulis masih kalah dengan perkara sepele yang lain. Benar kata Bung Karno, bawalah Jas Merah kemana saja meski sedang hujan. Hujan HUJATAN (HUru-hara Jejaring sosial yang AkuT dan berkesinambungAN).
Ah, benarkah Bung Karno pernah berkata seperti itu? Bahkan, aku bukanlah saksi sejarah zaman itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar