Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Selasa, 21 Oktober 2014

JURNALISME NARASI (MALAM DELAPAN BELAS // HUJAN DAN DIARY)



#Malam delapan belas
Di sepertiga terakhir acara rutinan Al-Khidmah kampus malam itu, aku menerima sms dari Mas Nazil. Menawariku untuk ikut PPMTD yang diadakan oleh LPM Arena UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta. Benar,kan! Tampaknya dia merasa agak bersalah karena tidak bisa memberangkatkanku ke Medan beberapa hari lalu.
                Karena lelah, ngantuk dan bingung, aku dilanda dilema. Antara muroja’ah Al-Muzammil yang paginya pukul 08.40 disetorkan, menggarap tugas vocabulary I yang menumpuk empat pertemuan silam, menggarap Phonetic & Phonology di berlembar-lembar kertas polio, atau packing-packing barang beserta materi yang akan dibawa ke Jogja besok.
                Daripada membiarkan malam terbias dan larut, akhirnya kuputuskanlah untuk mencuci baju yang sedari hari minggu menunggu. Sungguh, pilihan yang tepat. Sekaligus tidak nyambung.
                Giliran menyusun planning. Planning A jika jadi berangkat, maka aku hanya perlu muroja’ah dan bisa baca-baca materi dalam bis. Tapi planning B jika aku tidak jadi berangkat, maka aku muroja’ah, terpaksa tidak berangkat (lagi) pertemuan vocabulary I dan ngebut ngerjain tugas Phonetic & Phonology.
                Pertanyaannya, kenapa di pergantian malam menjelang pagi ini bukannya aku istirahat dan menelusuri alam mimpi tapi, malah membuka laptop yang batrenya tinggal 22 % dan menuliskan beberapa abjad diatas di MS Word.
                Entahlah, mungkin aku tak segaja teringat dengan tingkah JK Rowling yang sampai menulis diatas tissue hanya demi agar ide nya tidak menghilang begitu saja. Sementara aku? Hanya berharap agar kata-kata diatas tidak terlalu memenuhi ruang pikiranku. Hanya itu,mungkin!
                Tiga dari empat temanku sudah terkapar. Dan tampaknya aku ingin segera menyusul.
Malam, bisikkan pada pagi tuk jangan tergesa-gesa berganti.
***
#Hujan dan diary
Hujan melepas kepergianku. Hujan kedua yang turun setelah satu oktober lalu, pergantian musim yang diprediksi dan kebetulan saja ngepasi. Dasar anak pers, aku diminta untuk mencatat detail keberangkatan. 15.50-Jalan tembus-Taruna hijau.
Tapi sayang, hujan hanya mau mengantarku sampai ujung terminal Tingkir yang masih daerah Salatiga itu. Dan aku? Segera memejamkan mata. Bukan karena melukis harapan untuk bertemu hujan, tapi lebih pada agenda take a rest yang lebih familiar disapa ‘tidur’ itu.
Angin panas menerpa, karakteristik kota ini mulai memperlihatkan watak aslinya. Namun, batinku segera diam merutuki suhu yang berbeda segera setelah kulihat sebuah bangunan yang menarik. Menarik untuk dikunjungi, dinikmati dan dipuji. Plang bertuliskan “Terminal Tirtonadi” menolak hipotesisku yang menamai tempat itu airport.
812 hari yang lalu, aku pernah numpang bernafas di kota ini. Suasananya? Aku tidak begitu merasakan ada sense yang berbeda. Mungkin karena habitat asliku memang sama-sama panas. Tapi, bukan itu.
Suasana ‘wah’ di Asrama Haji Donohudan yang tepatnya berada di Boyolali dan semaraknya Stadion Mahanan Solo yang ‘ehem’ di malam itu menarik kesadaranku. Bukti otentik bahwa aku pernah mencuri oksigen disana memang tidak ada, kecuali RUU (ragam urut-urutan) kehidupanku yang terpaku lembut di segebog buku bersampul hitam agak mulus.

“Trus kelompokku maju. Masyaallah.. rasane deg-deg serr! Aku kudu menangiiis, dan celakanya aku lupa memperkenalkan diri. Ya, nek menurutku mungkin yang buat nilaiku sedikit itu proposal and produknya. Tau gini kejadiannya, aku pengen pake mesinnya doraemon buat mutar waktu,”Kata buku diaryku yang bertanggal 14 July 2012 itu.
Aku agak tersenyum, dan melanjutkan perjalanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar