Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Sabtu, 05 Maret 2016

Ini Adalah…


             
Ini adalah...
                Sabtu pagi yang mulai beranjak siang, disini aku menyelesaikan 536 halaman novel “Kinanthi: Terlahir Kembali” yang seharusnya sudah kukembalikan ke Arsipda Salatiga 18 Februari lalu. Terlalu lama? Kali ini aku tak ingin membahas tentang itu.
                Aku mulai merapikan struktur wajah kucelku, mengancingkan satu kancing di baby doll putih bunga-bungaku, dan melihat jejak-jejak letupan perasaan yang meleleh di sudut kelopak mataku. Setelah itu semua, aku hanya ingin mengulas sedikit tentang novel karya Tasaro G. K. Sekadar memberikan komentar, opini, maupun asumsi. Biar kece katanya….
                Kinanthi terlahir sebagai anak yang dikucilkan oleh sebagian besar orang di desanya. Ayahnya, seorang penjudi dan ibunya sendiri ‘kata orang-orang sih’ juga bukan wanita yang baik-baik. Sekilas ini memang terlalu klise dan impossible mengingat Kinanthi ternyata adalah gadis cantik yang cerdas. Kukira ini juga akan berakhir dengan adegan-adegan dan ending yang klise juga.
                Ternyata tidak! Kisah yang suka sekali membuat bahuku berguncang ini juga menyodorkan betapa dekatnya dengan kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan realita. Ayahnya sangat sayang kepada Kinanthi, sebagaimana ekspresi sayang bagi orang-orang yang hidup di dunia realita.
Hal ini berangkat dari setiap cerita yang kuanalisis, seorang tokoh itu ya.. kalau tidak sempurna banget pasti nelangsa banget. Setidaknya ‘tokoh’ itu tetap manusia ‘kan? Harusnya tetap ada element of truth nya meski itu dalam dunia dongeng sekalipun.
                Oke lanjut. Aku tidak ingin mengulas tentang sinopsis kisah itu disini. Takut akan menciderai imajinasi para calon pembaca. Ngerti ya?
                Pada suatu hari, untuk memenuhi obsesiku terhadap dunia fiksi, aku mendatangi sebuah acara roadshow oleh salah satu penerbit terkenal. Kutanyakan pada narasumber yang juga sebagai editornya, “Kenapa yang sering diangkat dalam sebuah novel adalah kisah cinta? Padahal kalau kita tinjau dari kehidupan sehari-hari, cinta seakan menjadi nomor seratus dua puluh lima.”
                Aku tak ingin berpikir jauh-jauh. Cinta terlihat indah jika dideskripsikan dengan kata-kata (dan sepertinya kamu perlu mempertimbangkan bagaimana bahagianya di-jatuhcintai oleh penulis dengan seksama). Selebih itu, cinta mungkin diekspresikan dengan bentuk yang lain.
                Jawabannya satu, marketing. Sebenarnya jawabannya banyak, tapi kesimpulanku mengatakannya pada satu kata yaitu marketing. Ya, tentu saja kau harus mengerti bahwa tidak hanya butuh berlembar-lembar kata cinta untuk hidup bahagia, ada juga tentang materi, keseimbangan, dan hal-hal yang mungkin setiap orang hanya disembunyikan rapi dalam hati.
                Begitu juga dengan Kinanthi. “Mencintai itu satu perkara, sedangkan memiliki itu perkara yang lain, Zhaxi. Saya sedang belajar untuk memahami itu,” ucap Kinanthi di halaman 530. Ada hal yang memang tak bisa dipisahkan dari kehidupan, perasaan, permasalahan dan marketing itu sendiri. Tapi setidaknya dalam kisah ini cinta bisa dipandang dalam perspektif realita, dan itu lebih mendekatkan pada logika.
                Tentang perjalan hidup Kinanthi yang bermula dari anak yang dikucilkan, ditukar oleh ayahnya dengan 50 Kg beras, berkali-kali menjadi korban TKW sehingga meraih gelar professor di negeri Paman Sam itu, kukira wajar saja. “Wong dia tokoh utama, kok!”
                Selain tentang konsep cinta-realita yang ada dalam kisah ini, pembaca juga diajak kembali menelaah berbagai macam fenomena sosial. Kita sering akrab dengan dunia pedesaan, tapi tak pernah benar-benar merasakan itu sebagai kondisi yang spesial sekaligus kontroversional. Begitulah, sungguh apik Bang Tasaro mendeskripsikan setiap detil setting. Di Wonosari, Bandung, Riyadh, Kuwait, Amerika, hingga dua puluh tahun kemudian saat Kinanthi kembali lagi ke Wonosari.
                Seperti standar novel berkualitas asumsiku, novel ini sangat padat pengetahuan dan wawasan. Itu tergolong cocok untuk orang-orang yang masih belum suka membaca buku tematik tentang pengetahuan, meskipun tebalnya tak seberapa.
                Begitu juga konsep ‘mimpi’ yang selama 3 tahun terakhir ini membuatku bergairah hidup kembali. Kembali? Ah tidak usahlah membahas yang itu. Di dalam kisah ini memang Kinanthi sudah punya modal utama: cerdas. Tapi toh ia mempunyai masa lalu yang lebih rumit ketimbang saya, kamu, ataupun tokoh-tokoh pada dunia realita. Tapi itu tidak mengurangi kadar semangatnya bukan?
 Maka, itu yang membuat novel ini bebas dibaca oleh segala usia. Karena belakangan ini, banyak sekali karya sastra yang ternyata membahas persoalan dewasa. hal tersebut berpotensi untuk menciderai pemikiran-pemikiran mereka yang masih suci dan sibuk mencari jati diri. Masih ingat ‘kan tentang salah satu unsur ekstrinsik sebuah cerita: amanat penulis. Tapi, lebih dari itu pun penulis sama halnya guru yang mengajari anak didiknya. Ada sebuah beban moral yang sedang diajarkan.
Seharusnya ada label batas usia di setiap buku yang akan kita konsumsi. Beberapa memang ada, tapi sebagian besar tidak! Mungkin itu akan sangat bermasalah dalam bidang marketing. Iya, tidak?
Ada rasa nyesek juga kenapa tidak bisa melahap buku ini dalam rentang waktu yang lebih singkat, juga buku-buku berkualitas yang lain. Tapi aku sedang hidup di dunia realita, terkadang aku boleh duduk sambil mewek dan nggak bisa diganggu siapapun pas lagi baca (padahal aku sendiri sebel setengah mati kalau lagi BBM-an tapi ditinggal baca); fokus dengan beberapa mata kuliah beserta tugas-tugasnya; mengekspresikan hobi, obsesi atau semacam pembebasan diri; dan berlomba-lomba bangun pagi antri kamar mandi.
                Ini adalah…
                Resensi? Asumsi? Atau curahan hati? entahlah, ku masih mualaf tentang semua ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar