Ini adalah...
Sabtu pagi yang mulai beranjak siang, disini aku menyelesaikan 536 halaman novel “Kinanthi: Terlahir Kembali” yang seharusnya sudah kukembalikan ke Arsipda Salatiga 18 Februari lalu. Terlalu lama? Kali ini aku tak ingin membahas tentang itu.
Sabtu pagi yang mulai beranjak siang, disini aku menyelesaikan 536 halaman novel “Kinanthi: Terlahir Kembali” yang seharusnya sudah kukembalikan ke Arsipda Salatiga 18 Februari lalu. Terlalu lama? Kali ini aku tak ingin membahas tentang itu.
Aku
mulai merapikan struktur wajah kucelku, mengancingkan satu kancing di baby
doll putih bunga-bungaku, dan melihat jejak-jejak letupan perasaan yang
meleleh di sudut kelopak mataku. Setelah itu semua, aku hanya ingin mengulas
sedikit tentang novel karya Tasaro G. K. Sekadar memberikan komentar,
opini, maupun asumsi. Biar kece katanya….
Kinanthi
terlahir sebagai anak yang dikucilkan oleh sebagian besar orang di desanya. Ayahnya,
seorang penjudi dan ibunya sendiri ‘kata orang-orang sih’ juga bukan wanita
yang baik-baik. Sekilas ini memang terlalu klise dan impossible mengingat
Kinanthi ternyata adalah gadis cantik yang cerdas. Kukira ini juga akan
berakhir dengan adegan-adegan dan ending yang klise juga.
Ternyata
tidak! Kisah yang suka sekali membuat bahuku berguncang ini juga menyodorkan
betapa dekatnya dengan kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan realita. Ayahnya
sangat sayang kepada Kinanthi, sebagaimana ekspresi sayang bagi orang-orang
yang hidup di dunia realita.
Hal ini berangkat dari setiap cerita
yang kuanalisis, seorang tokoh itu ya.. kalau tidak sempurna banget pasti
nelangsa banget. Setidaknya ‘tokoh’ itu tetap manusia ‘kan? Harusnya tetap
ada element of truth nya meski itu dalam dunia dongeng sekalipun.
Oke
lanjut. Aku tidak ingin mengulas tentang sinopsis kisah itu disini. Takut akan
menciderai imajinasi para calon pembaca. Ngerti ya?
Pada
suatu hari, untuk memenuhi obsesiku terhadap dunia fiksi, aku mendatangi sebuah
acara roadshow oleh salah satu penerbit terkenal. Kutanyakan pada
narasumber yang juga sebagai editornya, “Kenapa yang sering diangkat dalam
sebuah novel adalah kisah cinta? Padahal kalau kita tinjau dari kehidupan
sehari-hari, cinta seakan menjadi nomor seratus dua puluh lima.”
Aku
tak ingin berpikir jauh-jauh. Cinta terlihat indah jika dideskripsikan dengan
kata-kata (dan sepertinya kamu perlu mempertimbangkan bagaimana bahagianya di-jatuhcintai
oleh penulis dengan seksama). Selebih itu, cinta mungkin diekspresikan dengan bentuk yang
lain.
Jawabannya
satu, marketing. Sebenarnya jawabannya banyak, tapi kesimpulanku
mengatakannya pada satu kata yaitu marketing. Ya, tentu saja kau harus
mengerti bahwa tidak hanya butuh berlembar-lembar kata cinta untuk hidup
bahagia, ada juga tentang materi, keseimbangan, dan hal-hal yang mungkin setiap
orang hanya disembunyikan rapi dalam hati.
Begitu
juga dengan Kinanthi. “Mencintai itu satu perkara, sedangkan memiliki itu
perkara yang lain, Zhaxi. Saya sedang belajar untuk memahami itu,” ucap
Kinanthi di halaman 530. Ada hal yang memang tak bisa dipisahkan dari
kehidupan, perasaan, permasalahan dan marketing itu sendiri. Tapi setidaknya
dalam kisah ini cinta bisa dipandang dalam perspektif realita, dan itu lebih
mendekatkan pada logika.
Tentang
perjalan hidup Kinanthi yang bermula dari anak yang dikucilkan, ditukar oleh
ayahnya dengan 50 Kg beras, berkali-kali menjadi korban TKW sehingga meraih
gelar professor di negeri Paman Sam itu, kukira wajar saja. “Wong dia
tokoh utama, kok!”
Selain
tentang konsep cinta-realita yang ada dalam kisah ini, pembaca juga diajak
kembali menelaah berbagai macam fenomena sosial. Kita sering akrab dengan dunia
pedesaan, tapi tak pernah benar-benar merasakan itu sebagai kondisi yang spesial
sekaligus kontroversional. Begitulah, sungguh apik Bang Tasaro mendeskripsikan
setiap detil setting. Di Wonosari, Bandung, Riyadh, Kuwait, Amerika,
hingga dua puluh tahun kemudian saat Kinanthi kembali lagi ke Wonosari.
Seperti
standar novel berkualitas asumsiku, novel ini sangat padat pengetahuan dan
wawasan. Itu tergolong cocok untuk orang-orang yang masih belum suka membaca buku
tematik tentang pengetahuan, meskipun tebalnya tak seberapa.
Begitu
juga konsep ‘mimpi’ yang selama 3 tahun terakhir ini membuatku bergairah hidup
kembali. Kembali? Ah tidak usahlah membahas yang itu. Di dalam kisah ini memang
Kinanthi sudah punya modal utama: cerdas. Tapi toh ia mempunyai masa lalu yang lebih
rumit ketimbang saya, kamu, ataupun tokoh-tokoh pada dunia realita. Tapi itu
tidak mengurangi kadar semangatnya bukan?
Maka, itu
yang membuat novel ini bebas dibaca oleh segala usia. Karena belakangan ini,
banyak sekali karya sastra yang ternyata membahas persoalan dewasa. hal tersebut berpotensi untuk menciderai
pemikiran-pemikiran mereka yang masih suci dan sibuk mencari jati diri. Masih ingat
‘kan tentang salah satu unsur ekstrinsik sebuah cerita: amanat penulis. Tapi, lebih dari
itu pun penulis sama halnya guru yang mengajari anak didiknya. Ada sebuah beban
moral yang sedang diajarkan.
Seharusnya ada label batas usia di
setiap buku yang akan kita konsumsi. Beberapa memang ada, tapi sebagian besar
tidak! Mungkin itu akan sangat bermasalah dalam bidang marketing. Iya, tidak?
Ada rasa nyesek juga kenapa
tidak bisa melahap buku ini dalam rentang waktu yang lebih singkat, juga
buku-buku berkualitas yang lain. Tapi aku sedang hidup di dunia realita,
terkadang aku boleh duduk sambil mewek dan nggak bisa diganggu siapapun pas
lagi baca (padahal aku sendiri sebel setengah mati kalau lagi BBM-an tapi
ditinggal baca); fokus dengan beberapa mata kuliah beserta tugas-tugasnya;
mengekspresikan hobi, obsesi atau semacam pembebasan diri; dan berlomba-lomba
bangun pagi antri kamar mandi.
Ini
adalah…
Resensi?
Asumsi? Atau curahan hati? entahlah, ku masih mualaf tentang semua ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar