Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Rabu, 16 Maret 2016

Pintar Cas-Cis-Cus Jadi Reporter Kampus

Reporter adalah sebutan crew yang bertugas mencari dan menulis berita. Biasanya, untuk menjadi seorang reporter diperlukan beberapa tahapan. Reporter disini dengan garis bawah reporter kampus lho, guys! Mungkin secara substansinya sama dengan reporter resmi pada umumnya, tapi secara operasional, target, maupun cakupan mempunyai implementasi yang berbeda.
Di sebuah lembaga pers kampus (DinamikA_red) yang saya geluti selama 6 semester ini, ada beberapa tahapan pra reporter. Diantaranya, Pelatihan Pers Mahasiswa Tingkat Dasar (PPMTD) dan Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut (PJTL). Kenapa harus begitu? Sebelum masuk ke dunia reporter saya kira harus jelas apa dan bagaimana jurnalistik itu. Belum lagi ke bagian-bagian yang terasa asing tapi sangat penting bagi para anggota baru.
Di tahapan PPMTD biasanya berisi pemadatan materi tentang jurnalistik, fotografi, keorganisasian, dan lay out. Dan apakah mahasiswa yang mengikuti PPMTD terjamin ke-shohih-annya dalam paham jurnalisme? Tentu tidak semua materi tercover sempurna. Maka dari itu, diperlukan beberapa pelatihan yang harus diikuti oleh Crew Magang (Crew Magang adalah sebutan bagi anggota yang belum melalui tahap PJTL). Di tahapan ini, Crew Magang juga dibebankan sejumlah tugas sebagai bentuk persyaratan mengikuti PJTL. Di tahapan ini juga, Crew Magang mulai memainkan perannya sebagai reporter kampus.
Pernah, suatu hari (pas masih jadi Crew Magang) entah liputan yang ke berapa, saya dan teman-teman meliput expo di alun-alun kota. Ya, namanya expo kan sambil jalan-jalan sambil interview Pak Polisinya. Eh, kitanya malah disuruh makan bareng dan balik diwawancarai. Itu tuh greget nya di liputan. Pasti ada hal-hal unpredictable yang jarang kita temui di datarnya kehidupan sehari-hari. Istilahnya, liputan itu dolan ke kehidupan orang lain. Kepo sana kepo sini.
Untuk menemukan greget itu tentu saja harus melalui proses. Tidak jarang seorang reporter yang menunggu berjam-jam dan cuma bisa interview lima menit. Bayangkan, lima menit! Tapi itu sudah untung juga bisa wawancara, nah kalo sudah nunggu lama tapi akhirnya dicancel? Untuk itu, menjadi seorang reporter (meskipun hanya reporter kampus) diperlukan kesiapan material dan mental.
Disini, saya akan mengulas beberapa hal yang diperlukan seseorang untuk menjadi seorang reporter kampus. Em, kenapa reporter kampus? Karena yang akan saya tulis ini based on experience. Bagaimana saya menjadi seorang reporter kampus yang benar-benar memulai dari nol, bahkan minus!
Based on experience lagi, bagian reporter itu ada dua: meliput berita dan menuliskannya. Meliput berita sendiri harus ada prepare nya. Ngomong-ngomong tentang liputan, liputan itu sejatinya apa sih? Apakah dalam penulisan berita harus mengalami proses liputan? Liputan, dapat dimaknai dengan searching, semacam pengumpulan sumber informasi (karena sumber informasi bisa didapat dari data dan opini narasumber). Saya kira prinsip gelas kosong patut diimplementasikan ketika menjadi reporter karena hal tersebut dapat mempengaruhi informasi yang akan diterima.
Semakin banyak informasi yang diterima maka akan semakin banyak bahan yang dapat diolah. Liputan itu semacam berbelanja di pasar, seorang reporter perlu mencari bahan dan resep agar tulisannya nikmat memikat. Tentang haruskah seorang reporter melakukan liputan, saya kira liputan memberi sumbangsih besar dalam dunia penulisan yang mendukung kepadatan substansi. Namun, ada beberapa metode pengumpulan informasi yang cukup dengan data saja.
As I said before, ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika dalam tahapan pra liputan. Mulai dari mencari isu, penguasaan materi, stock mental, dan hal-hal yang berbau kemungkinan. Hal-hal semacam ini perlu diketahui dan diimplementasikan jika ingin liputan berjalan maksimal.
Setelah itu? Show off! Dalam liputan, tentu ada semacam tips-tips kecil dalam menaklukkan narasumber, situasi maupun diri sendiri. Tantangan dan hal-hal yang tidak bisa diperkirakan memang sesuatu yang tidak dapat diduga. Tapi, solusi dan antisipasi yang harusnya jadi amunisi.
Kemudian, apakah hanya sampai pada itu saja? Ooh, tidak! Masih ada satu tahapan dimana sebuah liputan dikatakan sah dan sempurna. Menulis! Karena itulah reporter special. Baik momen liputan maupun momen dalam menghasilkan tulisan, semuanya bersifat krusial. Keduanya akan menghasilkan sebuah kepuasan jika dipersiapkan.
Menulis adalah momok mengerikan bagi sebagian orang. Membaca buku yang tebal saja sering malasnya apalagi menuliskannya. Keep calm, guys! Tulisan yang dibahas kali ini hanya sebatas berita. Hanya? Yah, ada beberapa macam berita yang tentu menurut kadar kesanggupan dalam menuliskannya.
Dalam skill menulis, hal-hal yang dibutuhkan tentu bersifat jangka panjang mengingat hal ini lebih pada kepekaan. Namun, jangan khawatirr, semua itu bisa dipelajari. Kuncinya, banyak-banyak saja membaca berita.
Dalam kasus ini, menulis bukan hanya tentang menuangkan data yang telah dikumpulkan. Tapi, lebih dari itu menulis juga sebagai sarana penghubung informasi yang sesuai komposisi dan intuisi. Ada angle yang harus diperhatikan dalam menulis sebuah berita agar tetap fokus dan tidak keluar jalur.
Hal ini sama juga ketika menentukan sebuah judul. Tidak dapat dipungiri bahwa judul adalah hal pertama yang dilihat pembaca yang berkaitan dengan nasib berita. Sebuah berita yang mempunyai judul unik menarik lebih besar peluangnya untuk dibaca daripada judul yang biasa-biasa saja.
Begitu juga dalam bahasa yang digunakan. Berita bersifat informatif, maka bahasa yang digunakan harus sesuai dan tepat sasaran. Untuk itu, diperlukan feel dalam menuliskannya. Untuk memunculkan feel itu, memang memperbanyak membaca dan menulislah kuncinya. Hal itu semacam investasi transparan yang sewaktu-waktu sangat dibutuhkan.
Liputan, membuat tulisan, sudah? Tentu saja belum. Self editing! Kenapa harus ada self editing? Bukankah dalam jajaran keredaksian sudah ada yang bertugas mengedit berita dan kawan-kawannya? Self editing dapat meminimalisir kesalahan dalam menulis. Dengan self editing juga dapat merupakan koreksi pribadi yang melibatkan emosi. Dalam self editing, ada semacam perasaan yang membela mati-matian sebuah tulisan, namun di sisi lain self editing sendiri juga bersikeras untuk menghapus bagian dari tulisan tersebut.
Menjadi reporter tampaknya memang pelik, tapi tidak dapat dipungkiri banyak juga hal-hal yang asik dan menarik. Jadi, siapkah kamu jadi reporter kampus yang pintar ber-cas-cis-cus?

1 komentar:

  1. Saya baru tahu nih setelah baca postingan ini jadi mengenal reporter kampus. Lanjutkan tulisannya perbanyak buku referensi ya. Semangat menulis

    BalasHapus