Hal yang paling menyenangkan adalah
mengingat masa kecil. Entah itu hanya terjadi padaku atau sebagian besar
mantan anak kecil yang ‘katanya’
telah dewasa.
Disana, ada kebahagiaan murah meriah namun tak murahan. Ada juga selaksa
tangisan yang cepat reda karena iming-iming jajanan. Indah, ya?
Tentu saja itu bagian yang kusuka.
Salah satunya adalah ketika…
Ketika itu, setelah pulang
sekolah aku dan teman-temanku suka sekali berhenti di bawah Pohon Keres.
Pohon Keres, Pohon Karsen, atau yang lebih populer Pohon Talok.
Buahnya manis agak kersak. Mengambilnyapun cukup mudah. Buahnya yang terus
panen tiap hari itu menyajikan kebahagiaan tersendiri olehku dan teman-temanku.
Beberapa
waktu setelah itu, kami tidak melihat pohon yang berbuah kebahagiaan itu
berdiri kokoh, seperti biasanya. Sebagai gantinya, beberapa oggokan kayu,
daun-daun hijau, dan buah Keres yang sebagian besar masih hijau
berserakan di atas tanah coklat yang menggersang.
Sehari,
seminggu, bahkan setahun setelah itu teman-teman sudah menemukan kebahagiaan
lain. Bermain masak-masakan, betengan, bancakan, dan lainnya. Tapi mencari buah Keres bagiku adalah ‘feel’
tersendiri.
Meski leher terkadang
lelah saat memegangi dobos panjang yang ujungnya diberi botol minuman
bekas. Ya, maklumlah aku anak rumahan tulen. Jadi, tidak bisa memanjat pohon
yang tidak begitu tinggi sekalipun. Akhirnya, kupergunakan tongkat panjang yang
terbuat dari dobos, kemudian ujungnya bertemu dengan ujung botol bekas
yang dipotong setengah badan kemudian diruncingkan, dibuat bergerigi. Feel
itu semakin bertambah saat mengaitkan tangkai buah dan gerigi botol. Apalagi,
kalau buah Keres merah merona itu resmi terlepas dari tangkainya. Pulp!
Sejauh itu hati kami bahagia melayang tapi tak terbang.
Usut punya usut,
bukan tanpa sebab kenapa Pohon Keres itu ditebang. Kata yang punya
rumah, akarnya yang menjalar panjang itu akan merusak pondasi rumah. Karena
panjang akar sama panjangnya dengan panjang batang,
begitu sih katanya. Maka dari itu, lebih baik Si Pohon ditebang dan
berakhirlah binar-binar kebahagiaan.
Ini tentu
hanyalah hal sepele yang di kemudian hari jadi serius. Tapi tentu bukan
penyelesaian jika pohon Keres lainnya harus ditebang karena merusak
pondasi bangunan. Yups, semua itu butuh pelampiasan yang sesuai.
Jika pohon Keres
itu ditanam di tanah yang luas, maka akan semakin banyak buah-buah kebahagiaan
yang akan dipanen. Toh pohon itu tidak hanya berfungsi sebagai penghasil buah
gratis yang juga enak abis. Disamping itu, ia bekerja keras menghasilkan oksigen
sekaligus menyerap karbon dioksida dengan sekuat tenaga.
Kasus ini
mirip sekali dengan yang beberapa waktu terjadi padaku. Akhir-akhir ini, seolah
ada ‘aku’ yang lain yang sama-sama tinggal di pikiranku. Ia begitu berisik, tak
mempedulikanku yang lelah batin dan fisik. Apa-apa yang telah kulihat lewat mata
bertransformasi menjadi satu-kesatuan informasi yang panjang tak berpangkal.
Aku mulai
bosan, ‘akar-akar’ pemikiran itu lama-lama mengganggu pokok ‘pondasi’
pemikiranku yang lain. Ada ‘aku’ lain yang berubah drastis jadi antagonis.
Bukankah itu sayang sekali jika harus menebang ‘akar-akar’ pemikiran yang
dikaruniai khusus dari Tuhan?
Semua itu
butuh pelampiasan, kata ‘aku’ yang hanya sebagai figuran itu. Seperti Pohon Keres
yang telah ditebang, begitu juga seperti kebahagiaan yang telah mengawang. Aku
mulai melampiaskan ‘akar-akar’ pemikiran itu lewat apa yang biasanya disebut
kekata. Lengkap dengan tinta dan secarik kertas yang akhir-akhir ini cukup berbentuk
soft file saja. Lucu juga, berhadapan dengan layar putih seperti kertas,
memencet tombol-tombol yang tak sesuai abjad indonesia.
Sekali, dua
kali, tiga bahkan beberapa kali aku membacanya tentu saja jelek di mata ulama
sastra Indonesia. Aku ingin... sekali tak peduli. Tapi aku mempertahankan dan
‘melihat’ ada kehidupan dalam tulisan malang itu. untuk pertama kalinya, bagiku
menulis bukanlah sebuah pelampiasan.
Ada sesuatu
yang ‘unik’ dalam setiap orang. Begitu juga denganku. Iya kan? Aku tidak memaksa
siapapun untuk melihat itu. Tapi aku ingin diriku sendiri yang mengeksplorasinya. Caranya? Itu
yang sedang kupikirkan.
Ada keasyikan dalam membaca dan menulis yang hampir sama namun, tak serupa. Jika
membaca seperti masuk melalui sebuah pintu, maka menulis itu ibarat keluar
melalui pintu itu. Bahkan, ketika kita keluar melalui pintu itu, terkadang tidak
lupa menggandeng buah tangan di kiri dan kanan ‘kan? Kurasa itulah alasan
kenapa aku memilih menulis. Dari sekian ribu aktifitas fisik dan batin, kupilih
menulis untuk mempertahankan ‘akar-akar’ pemikiran dan aneka ragam kebahagiaan.
Seperti Pohon Keres yang hanya perlu
ditanam/ tertanam di lahan yang lapang, akar-akarnya tidak akan mengganggu
pondasi bangunan yang kokoh terbentang. Begitu juga denganku, aku hanya
membutuhkan ruang agar ‘akar-akar’ pemikiran itu tertuang maksimal. Tentang aneka
ragam kebahagiaan? Ah, itu nanti sajalah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar