Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Minggu, 28 Februari 2016

Demi ‘akar-akar’ pemikiran


Hal yang paling menyenangkan adalah mengingat masa kecil. Entah itu hanya terjadi padaku atau sebagian besar mantan anak kecil yang ‘katanya’ telah dewasa. Disana, ada kebahagiaan murah meriah namun tak murahan. Ada juga selaksa tangisan yang cepat reda karena iming-iming jajanan. Indah, ya?
                Tentu saja itu bagian yang kusuka. Salah satunya adalah ketika…
                Ketika itu, setelah pulang sekolah aku dan teman-temanku suka sekali berhenti di bawah Pohon Keres. Pohon Keres, Pohon Karsen, atau yang lebih populer Pohon Talok. Buahnya manis agak kersak. Mengambilnyapun cukup mudah. Buahnya yang terus panen tiap hari itu menyajikan kebahagiaan tersendiri olehku dan teman-temanku.
                Beberapa waktu setelah itu, kami tidak melihat pohon yang berbuah kebahagiaan itu berdiri kokoh, seperti biasanya. Sebagai gantinya, beberapa oggokan kayu, daun-daun hijau, dan buah Keres yang sebagian besar masih hijau berserakan di atas tanah coklat yang menggersang.
                Sehari, seminggu, bahkan setahun setelah itu teman-teman sudah menemukan kebahagiaan lain. Bermain masak-masakan, betengan, bancakan, dan lainnya.  Tapi mencari buah Keres bagiku adalah ‘feel’ tersendiri.
Meski leher terkadang lelah saat memegangi dobos panjang yang ujungnya diberi botol minuman bekas. Ya, maklumlah aku anak rumahan tulen. Jadi, tidak bisa memanjat pohon yang tidak begitu tinggi sekalipun. Akhirnya, kupergunakan tongkat panjang yang terbuat dari dobos, kemudian ujungnya bertemu dengan ujung botol bekas yang dipotong setengah badan kemudian diruncingkan, dibuat bergerigi. Feel itu semakin bertambah saat mengaitkan tangkai buah dan gerigi botol. Apalagi, kalau buah Keres merah merona itu resmi terlepas dari tangkainya. Pulp! Sejauh itu hati kami bahagia melayang tapi tak terbang.
Usut punya usut, bukan tanpa sebab kenapa Pohon Keres itu ditebang. Kata yang punya rumah, akarnya yang menjalar panjang itu akan merusak pondasi rumah. Karena panjang akar sama panjangnya dengan panjang batang, begitu sih katanya. Maka dari itu, lebih baik Si Pohon ditebang dan berakhirlah binar-binar kebahagiaan.
Ini tentu hanyalah hal sepele yang di kemudian hari jadi serius. Tapi tentu bukan penyelesaian jika pohon Keres lainnya harus ditebang karena merusak pondasi bangunan. Yups, semua itu butuh pelampiasan yang sesuai.
Jika pohon Keres itu ditanam di tanah yang luas, maka akan semakin banyak buah-buah kebahagiaan yang akan dipanen. Toh pohon itu tidak hanya berfungsi sebagai penghasil buah gratis yang juga enak abis. Disamping itu, ia bekerja keras menghasilkan oksigen sekaligus menyerap karbon dioksida dengan sekuat tenaga.
Kasus ini mirip sekali dengan yang beberapa waktu terjadi padaku. Akhir-akhir ini, seolah ada ‘aku’ yang lain yang sama-sama tinggal di pikiranku. Ia begitu berisik, tak mempedulikanku yang lelah batin dan fisik. Apa-apa yang telah kulihat lewat mata bertransformasi menjadi satu-kesatuan informasi yang panjang tak berpangkal.
Aku mulai bosan, ‘akar-akar’ pemikiran itu lama-lama mengganggu pokok ‘pondasi’ pemikiranku yang lain. Ada ‘aku’ lain yang berubah drastis jadi antagonis. Bukankah itu sayang sekali jika harus menebang ‘akar-akar’ pemikiran yang dikaruniai khusus dari Tuhan?
Semua itu butuh pelampiasan, kata ‘aku’ yang hanya sebagai figuran itu. Seperti Pohon Keres yang telah ditebang, begitu juga seperti kebahagiaan yang telah mengawang. Aku mulai melampiaskan ‘akar-akar’ pemikiran itu lewat apa yang biasanya disebut kekata. Lengkap dengan tinta dan secarik kertas yang akhir-akhir ini cukup berbentuk soft file saja. Lucu juga, berhadapan dengan layar putih seperti kertas, memencet tombol-tombol yang tak sesuai abjad indonesia.
Sekali, dua kali, tiga bahkan beberapa kali aku membacanya tentu saja jelek di mata ulama sastra Indonesia. Aku ingin... sekali tak peduli. Tapi aku mempertahankan dan ‘melihat’ ada kehidupan dalam tulisan malang itu. untuk pertama kalinya, bagiku menulis bukanlah sebuah pelampiasan.
Ada sesuatu yang ‘unik’ dalam setiap orang. Begitu juga denganku. Iya kan? Aku tidak memaksa siapapun untuk melihat itu. Tapi aku ingin diriku sendiri yang mengeksplorasinya. Caranya? Itu yang sedang kupikirkan.
Ada keasyikan dalam membaca dan menulis yang hampir sama namun, tak serupa. Jika membaca seperti masuk melalui sebuah pintu, maka menulis itu ibarat keluar melalui pintu itu. Bahkan, ketika kita keluar melalui pintu itu, terkadang tidak lupa menggandeng buah tangan di kiri dan kanan ‘kan? Kurasa itulah alasan kenapa aku memilih menulis. Dari sekian ribu aktifitas fisik dan batin, kupilih menulis untuk mempertahankan ‘akar-akar’ pemikiran dan aneka ragam kebahagiaan.
Seperti Pohon Keres yang hanya perlu ditanam/ tertanam di lahan yang lapang, akar-akarnya tidak akan mengganggu pondasi bangunan yang kokoh terbentang. Begitu juga denganku, aku hanya membutuhkan ruang agar ‘akar-akar’ pemikiran itu tertuang maksimal. Tentang aneka ragam kebahagiaan? Ah, itu nanti sajalah!

                                                                                                                                                                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar