Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Rabu, 06 Agustus 2014

BAGI MEREKA, APAKAH-JUGA-ADA HARI RAYA?




Masih hari raya idul fitri ‘kan ?
 Lumrahnya, prepare menuju hari nan suci ini yang tergambar jelas di memori kornea mata kita adalah bulir-bulir kesibukan. Entah itu sibuk memenuhi toples di atas meja, sibuk memenuhi stok baju baru dalam almari ataupun sibuk memenuhi daftar panjang rumah yang akan disinggahi.
                Sholat ied, maaf-maafan dan makan-makan. Tiga rutinitas tersebut merupakan hal yang paling menonjol . Namun, apa hendak dikata jika hal seperti ini ternyata hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu.
                Sekitar pukul 10.00 WIB, masih hari pertama. Tapi saya sudah menemukan seorang penjual makanan yang menjajakan makanan anak-anak. Batin saya berteriak. Apakah hidup ini belum cukup adil ? di hari yang bisa dikatakan spesial ini masih ada orang-orang yang harus membanting tulang menghidupi keluarganya.
                Hari-hari berikutnya, masih (juga) saya temui orang semacam itu. Terkadang aura negatif menjalari pikiran saya. Inikah yang membuat hari raya idul fitri tidak se-istimewa masa kecil saya. Mereka lebih memilih mencari nafkah dan mengambil keuntungan daripada memaknai suasana itu dengan sepenuh hati. In the other hand, kata ‘bagaimana’ tampaknya langsung mengambil alih mindset saya. Bagaimana jika tidak ada mereka ? pasti setiap harinya hanya akan makan kue kering, mie instan ataupun opor ayam.
                Dan.. siapa yang pernah punya cita-cita menjadi tukang tambal ban ? baru saja saya sadari, pekerjaan itu amat-sangatlah mulia. Apalagi di musim mudik. Bayangkan (lagi-lagi) bagaimana jika mereka lebih khusyuk bersemedi menghayati idul fitri. Para pemudik yang mendapat gangguan pada kendaraannya pasti akan sangat menderita.
                Kembali dengan judul diatas. Lalu, bagi mereka apakah-juga-ada hari raya ? tentu saja. Dari segi finansial mereka memanglah mengambil keuntungan. Tapi, hal yang terpenting adalah segi kemanusiaan.
 Mereka merayakannya bukan dengan air kemasan di sudut meja, toples berjajar macam-macam rupa atau berlembar-lembar baju baru menyambut anak-cucu. Tapi dengan air mata di sudut rasa, setoples kelelahan atau berlembar-lembar senyum yang terbias pada peluh mereka. Terkadang hidup memang tak adil. Tapi dengan ketidak-adilan inilah yang menyatukan kita dalam perbedaan. Selamat idul fitri dan selamat merayakannya dengan cara yang berbeda.
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar