Menurut hematku, dia lebih suka bergumul di bawah hangatnya selimut dan
membatasi riuhnya kenyataan ini dengan alur mimpi yang fiksi. Begitu juga
dengan besok, besok, dan besoknya lagi. Sampai semua itu bercerita bahwa tak
pernah terjadi apa-apa.
Terima kasih atas
ketidakpedulianmu, Azarine.... Ini lebih membuatku tertaut pada kenyataan yang
baku.
Huh, aku berbohong!
“Lika.,”
Hening.
“Lika.,”
Hening. Lagi.
Air yang menerobos di
tengah kegelapan berjatuhan semaunya. Jalan, atap, dan dedaunan basah menuai
rekah. Apalagi hatiku, perasaanku.
“Lika ayo kita
pulang,”
“Dia pasti datang..”
Sementara malam mulai
menua. Selasar Kartini yang memanjang kini berangsur lengang.
“Kamu bisa sakit!”
“Aku sudah sakit sejak
hari itu, Nisrina..” Nisrina mengatupkan payung putih transparan yang melindungiku
dari anak hujan.
“Apakah kamu lebih
mempedulikan Azarine daripada dirimu sendiri?”
Aku menghela nafas.
Memalingkan pandangan di sisi kananku. Nisrina, yang berusaha menghalau dingin dengan
hati menggigil.
“Ini adalah hari ulang
tahun persahabatan kita. Aku tahu dia pasti kesini. Seperti yang sudah-sudah.”
“Tapi ini sudah hampir
pagi! Pasti dia sudah sampai airport,”
Aku beringsut meraih
kursi taman yang permanen itu. Mengendalikan emosi yang berjibaku diantara
senyum sayu. Aku kasihan pada Nisrina, yang basah terkena lelehan air mata
hujan.
“Aku hanya tak ingin
kehilangan dia,” sahutku menerawang.
“Tak ingin kehilangan
dia?” dengus Nisrina.
“Aku hanya tak ingin
kehilangan dia dengan cara seperti ini.”
Kami berdua sibuk
dengan pikiran masing-masing. Tapi tetap tak keluar dari clue, Azarine.
“Pintar itu tidak
penting. Yang penting semangat!” Azarine mengerlingkan mata. Menafikan
kenyataan yang menciderai rasa. Katanya waktu itu.
Jangan bayangkan dia seorang
gadis tinggi semampai, cantik-menarik, dan mempesona. Menurutku Azarine lebih
dari itu. Meski secara fisik tidak, secara hati kuyakin pasti. Iya.
Dia juga bukan tipikal
kutu buku dan punya bakat ustadzah. Ceramah sana ceramah sini. Tidak juga selalu
menjadi juara di setiap mapel dan menjadi anak mas para guru di sekolah.
Entahlah, aku bingung menunjukkan sikap Azarine yang mampu menghidupkan
hidupku.
“Terakhir dia bilang
apa sama kamu?” pertanyaan Nisrina menguap.
Aku beranjak menuju
tempat yang teduh. Tempat yang biasa dipakai Azarine, aku dan Nisrina
jatuh-bangun bersepatu roda.
Sekilas aku melihat
buku bersampul flanel yang tak beraturan. Familiar sekali.
“I..tu kan punya
Azarine?” Nisrina berteriak.
Se-general apapun kisahnya, tak pernah sekali-dua
kali dia memperbolehkan aku dan Nisrina membacanya. Ini sangat privasi.
19 May 2013
Mentari terlalu
lelah untuk diposisikan di ranah diksi. Begitu juga dengan siang, senja dan
malam. Lalu, ketika kuadron masa mengekploitasi segala? Harus kularikan kemana
percik mimpi yang masih jadi bibit?
Kesemuanya ditulis di tanggal 19, angka favorit
Azarine. Dan selama 19 bulan itu, terjebak pada tanggal ini. 19 November 2014.
Tepat di hari ulang tahun persahabatan kita yang ketiga.
19 November 2014
Ketika aku tersadar
bahwa aku sedang melakukan perburuan hebat, aku merasa seakan-akan jemari
lentikku cepat menggapai dan sampai. Namun semua itu hanya oase fana di tengah
mayapada. Tengoklah, keluarlah dari tempurung yang mengkungkungmu tanpa cela.
Seakan-akan kaulah satu-satunya alasan kenapa Tuhan menciptakan tujuan.
Malika, Nisrina..
Hadiahi
persahabatan kita dengan nyata-nya mimpimu. Yang meski orang bilang hanya
kembang tidur, yang meski orang bilang hanya lamunan ngawur.
Percayalah,
suatu saat nanti waktu akan bersua. Membiarkan kita berdiri diatas mimpi
masing-masing.
Dengan takdir yang membawa kita kembali
bersama.
Azarine Sharaha
“Aku tahu dia punya
alasan..”
Langit Salatiga selalu
merona. Mungkin dia tersipu. Atau memang malu pada Azarine.
“Sudah?” tanya Nisrina
tanpa memandangku.
Aku beranjak,
menggandeng tangan Nisrina yang beku. Dan tertaut pada jam digitalnya
00.19
Angka favorit Azarine.
Lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar