Yang membuatku sakit (sekali lagi) adalah ketika aku mengantar Novia untuk
sholat di Mushola gedung utama itu. Ternyata-sedang-ada-gebyar-sejuta-buku.
Hmmm, bau-bau buku yang erotis itu mengganggu hidungku. Apalagi di sebelah kiri
pintu masuk disambut oleh Gramedia dengan bukunya yang most of them
(judulnya) bertebaran di dunia sastrawi.
Yang Tere liye, yang A. Fuadi, yang Dee, dan yang tak kalah mentereng
namanya.
Tanganku gatal ingin segera mencari ATM.
“Tak tunggu sambil liat-liat di bawah ya,Nov”
Aku segera kabur dari lantai dua yang berisi toilet dan mushola tersebut.
Duh,, kenapa tadi jauh-jauh ke Java Mall kalo pengen liat buku! Disini
sedang menjadi surga buku rupanya. Yang sungguh-sangat menyakitkan, ada Diva
Press yang juga buka stand.
Buku-buku fiksi yang berlabel harga ‘mahal’ itu sejenak berbaur pada sisi
ekonomis bagi sebagian orang. Bayangkan! Harga sebenarnya yang bisa saja
mencapai 40-50 ribu itu hanya dijual antara 15-30 ribu. It’s marvelous thing!
Dan aku? Sibuk menjelajahi sinopsis-sinopsis yang mengintip di cover
belakang.
“Za!” teriak Novia.
“Eh, kamu kok bisa tahu kalo aku disini?” aku menoleh. Seraya merangkul
beberapa judul buku yang berhasil mencuri perhatianku.
“Ya jelaslah. Wong bajumu yang paling mentereng. Kaya seragam shop
keeper di Gramedia lagih.”
Aku meringis. Rok hitam dan chick-chick merah panjang ini terlihat flat.
Untuk itu kupadukan dengan paris bunga merah kecil yang menyebar diatas background
putih. Biar unsur girly nya dapet. Meskipun begitu terlihat manis
(kerudungnya) tapi tetap saja kelihatan maskulin dengan jaket hitam abu-abu
yang bergaya boyish.
Sudahlah, aku kan nggak lagi ikut fashion show!
***
“Jangan percaya pada ingatan,” ungkap Pak Edi Akhiles.
Ya! Aku sudah kembali di ruangan yang tadi.
“Dan ingatan itu akan mem-PHP kita,” lanjutnya.
Memang.
Pembahasan fiksi-non fiksi yang berakhir pukul 16.00 itu ditutup dengan
foto-foto dan pembagian novel. Aku sendiri mendapatkan novel Zhaenal Fanani
yang tebalnya 474 halaman berjudul Rendez-Vouz di Selat Hormus.
Lalu meluncurlah kita berdua ke tempat stand Diva Press berada. Dan
mendapatkan apa yang kita cari sebelumnya. Tepatnya setelah ikut bereksis ria
di depan background “peka kota”. And inilah wajah kami yang kucel.
4 buku yang ‘hanya’ merogoh kocek senilai 50 ribu. It’s so cheap,right?
Ada satu misi yang harus kita penuhi sebelum kembali ke Salatiga tercinta.
Berkunjung ke Unnes!
Aku beranjak mengamati peta Kota Semarang setelah melepas lelah di teras
masjid raya candi lama. Mengamati dan menganalogikan pada keadaan yang
sebenarnya. Memposisikan dan meraba-raba koordinat tempat tujuan kami
selanjutnya.
Oke, fix! Berbekal pengetahuan bahwa letak Unnes itu PLN Jatingaleh masuk,
kami berangkat kesana dengan segera. Beberapa kampus asing menyapa. Pelni,
Untag, Unika dan sekolah tinggi lainnya. Benar juga kata shohibku yang akan
kukunjungi itu, jalannya naik-turun belok-belok. Bahkan ada yang tingkat
kemiringannya sampai 45 derajat.
“Asyik juga pergi pake motor,” kataku dalam hati. Sekilas ada biji sombong
ikut berpartisipasi.
Belum sempat aku beristighfar, ada semacam suara ledakan kecil dari motor
ini. Sontak kita berdua kaget. Namun, dasar kita memang tidak punya feeling dan
keahlian dalam mekanik, ya cuek saja dan pura-pura tidak terjadi apa-apa.
“Nov, Nov, Nov...”
Aku hanya memegangi rem depan dan menginjak rem belakang demi menjaga agar
kita tidak jatuh ke belakang. Pasalnya, aku menyadari bahwa kopling di kaki
kiriku tak berfungsi. Tidak apa-apa kalau kita pas di jalan yang datar. Lah
ini, pas jalannya nanjak!
“Kayaknya, ini rantainya deh,” hipotesaku singkat. Tentunya setelah
terengah-engah menepikan motor ini dari jalan raya.
“Trus gimana? Mana nggak ada bengkel,lagih!”
“Coba tanya sama bapak itu.”
Dan kami menerima saran bapak itu. Yaitu dengan mencari bengkel di depan.
Itu artinya kita harus mendorong motor ini di jalan yang uuwh.
Jelas lagi, kita tidak punya background olahraga. Jadi, dengan sekuat jiwa
raga mengerahkan segala kemampuan untuk... mendorong motor. Malangnya, orang
yang berlalu lalang itu memperhatikan dan menoleh pada wajah nelangsa kami.
“Iih.. kita kok ya berhenti pas di depan kampus! Kan jadi diliatin banyak
orang...”
Udahlah, mereka juga ga kenal kita! Jawabku, dalam hati. Di dalam hati juga
aku meminta maaf pada Allah dan meminta
untuk memudahkan masalah ini.
Akhirnya, ada seorang bapak baik hati yang mau menolong kami mendorong
motor ini.*embrassed
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar