Kami berempat naik bus yang kelihatannya bersiap memutahkan penumpangnya
itu. Aku tak punya pilihan, maka akulah yang naik paling terakhir. Tubuhku
meringsek masuk, kepalaku tenggelam diantara bahu-bahu orang asing. Ke depan
aku takut, ke belakang apalagi. Maka aku memutuskan untuk berhenti bernafas
karena ruang rupanya tak memberiku kesempatan untuk memandang siapa pemilik
bahu kokoh nan kekar di hadapanku.
Namun, aku ditarik
olehnya. Diantara tiga anaknya, aku-yang sulung-justru yang didekapnya. Beliau
tak membiarkan aku berdiri rapuh diantara dua ketakutan. Harun, adik bungsuku
itu pasti akan protes sejadi-jadinya. Namun, beruntungnya dia sudah diungsikan
dan sedang di pangkuan ibu-ibu di seberang sana.
Lain lagi dengan dek
Mahfud, adikku yang tengah menempuh kelas XI itu pas di depan pintu bus.
Rintik-rintik hujan rupanya tak membuat ia bergeming.
“Ma’, kemarin kran
Ma’had kan putus. Terus tak panggilin bapak-bapak tukang PAM. Eh, pas tak anter
ke kamar mandinya beliau tanya, asli
mana mbak? Ya tak jawab dong, Pati, Pak! Terus bapaknya bilang, ooh pantes kok
cantik. Menurut legenda sih, mbak.. kalau orang Pati itu masih keturunannya
Roro Mendut,” ungkapku malam sebelumnya. Saat menemani ibuku nonton sinetron.
Beliau tersenyum, aku terbahak.
“Ahaha, dusta banget
kan!”
Beliau selalu
mengajariku untuk tidak Ge-Er.
Dan..maksudku juga bukan itu kok. Hanya
membuktikan bahwa engkau tak menyesal melahirkanku. Senggaknya ada yang bilang
bahwa anakmu cantik. Meskipun, kuprediksi bapak tukang kran itu sedang setengah
ngelindur.
“Lagi, pas Seminar
Nasional yang dihadiri orang nomor satu di TVRI Jateng. Pas itu, aku tanya sama
Si Bapak, ‘Saya kan mulai dunia jurnalistik dari pers kampus, terus bagaimana
caranya agar saya dan teman-teman bisa juga berkontribusi untuk negeri melalui
televisi?’ si bapak jawab, lhoh dunia jurnalistik kan memang dasarnya, Mbak. Tinggal
aplikasinya aja ke visual atau broadcast. Mbak juga bisa jadi presenter,kok. Apalagi
mbak cantik..”
Suara bapak itu
terputus oleh sorakan para peserta seminar. Dengan gaya ‘ketidakterimaan’
mereka, aku tahu bapak itu sedang berdusta! Ah, tapi biarlah. Tetap saja kuceritakan
tragedi tragis ini pada ibuku yang menahan tawa itu.
Selagi aku bisa
melihat senyum lepasnya dan mendengar nasihatnya yang selalu mencemaskan pergaulanku
itu. Selagi aku masih bisa bersanding dan menatap matanya yang tampak lelah
itu.
Beliau jatuh bersandar
padaku, aku menjatuhkan pandanganku ke raut mukanya yang mulai menua. Ma’,
saat tubuhmu mulai kehilangan fungsinya nanti.. apakah aku akan ada disisimu
seperti ini? Batinku, sok visioner.
Pagi berlinang dingin,
kami memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan memanen cabe di sawah. Letak sawah
itu hanya beberapa meter di barat rumah nenekku. Setiap aku dolan ke
Temanggung, sebisa mungkin aku tak pernah absen mengunjunginya.
keceriaan jagoan-jagoanku.. tempatnya, cocok buat selfie 'kan? |
Sawah.. tempat selfie
yang indah. Eeh, bukan seperti itu, kok! Memang sih, dominan
warna hijau dengan background beberapa siluet gunung dan birunya atap langit
membuatku tak ingin hengkang dari mata kamera. Tapi sense-nya ituh hlo!
Dan disela-sela kami
memanen cabe, selalu ada saja bahan untuk mendekatkan hatiku dan hati ibuku.
Pasti! Dengan senang hati aku pasti senang menghabiskan waktu hanya berdua
dengannya.
ya, ini dia ibuku yang sedang memanen cabe |
Aku bukan orang yang dengan blak-blakan bilang aku
sayang ibuku. Menurutku, rasa yang seperti itu terlalu sayang untuk diungkapkan
dengan untaian kata. Biarlah mata, bibir dan senyum ini yang bersua.
Mengutarakan apa yang menggelayut dengan mesra.
Sering, bus yang kami
tumpangi tiba-tiba mengerem mendadak. Maka tak tanggung-tanggung tubuhku yang
kata orang ‘langsing’ ini tentu terjepit sakit. Namun, untuk saat ini sakitku
sedang melancong entah kemana. Mungkin saja ikut menyimak guyonan dan curhatan
ibuku yang sedang mendekapku. Suaranya berpendar tak mengitari bahu-bahu orang
asing. Berbisikpun, telingaku menangkapnya.
17 tahun aku dibawah
pengawasan ibuku, namun.. tak pernah aku melihat rindu dan sayangnya membuncah
tercurah sepenuhnya untukku. Hatiku terkulum, semenjak liburan lebaran itu, aku
belum bertatap muka dan berbagi rindu ini dengannya. Terkadang jarak membuat
kita dekat. Jarak, dalam interpretasi ini.. ah, aku tak lagi bisa
melukiskannya.
“Bawen, Bawen..” suara
kondektur bus yang sama-sama terjepit itu membuat momen ini kuyu.
Segera aku berbalik 90
derajat dan mengincar telinga ibuku. “Ma’.. selamat hari Ibu, nggeh”
Pipi kananku
dikecupnya, kedua mataku menangkap sekat bahagia di kornea matanya. Sudah
kubilang, kan? Bahkan kata-kata kehilangan kekuatan untuk mengungkapkan rasa.
Aku turun, setelah
mengecup pipi kirinya dan melempar senyum.
uchibbuki, ya ummiy |
untuk yang aku lebih dari suka,,,,,
BalasHapusselamat izaah, anda memang cantik dan tentunya bundamu
Tuhan membiarkan kamu tidak pulang selama ini, karena Tuhan lebih suka cinta yang seperti itu..... jangan pernah lari dari ibu y. salam pena
Syukron, Kaka..
BalasHapusEmm, bukankah wanita itu terlahir dengan kodrat cantik? ngga mungkin kan kalo ganteng,
Semoga yah.bukankah selalu ada udang dibalik kemplengan? :D
Salam Tinta