#Tercengang
Jogja sudah membelalak
di depan mata. Candi Prambanan di kanan jalan menyapa, mengucapkan salam seribu
arca. Meskipun begitu, kami tetap harus menaiki Trans Jogjakarta.
Bapak-bapak dengan
baju batik yang terlihat lelah itu mengambil sebuah kartu. Ketika mesin itu
berbunyi, satu-persatu dari kami dipersilahkan masuk. Tentunya setelah membayar
Rp.3000,00 setiap orang. Satu, dua, lalu giliranku. Plang besi kecil itu tak
mau bergerak. Akunya ya tetap diam, wong ceritanya sok menaati peraturan.
“Langsung masuk aja
mbak,”bapak-bapak itu melongok.
“Nggak
bisa, pak!”
Eh, telisik pake
telisik ternyata plang itu tinggal didorong. Whoa! Ini membuatku terlihat
katrok bin ndeso. Spontan saja dua makhluk yang sudah berhasil masuk itu
menertawakanku. Ya, maklum aja.. Pati sama Salatiga belum terjamah bus Trans,
saudara!
Setelah itu?
Kami masih harus jalan
kaki, lagi. Seperti yang sudah saya i’lan-kan ke dunia fb, efek menaiki bus Trans
adalah berjalan kaki. Karena ya, gedung UIN yang sebegitu megahnya sudah
terlewat tapi kita tetap diturunkan di halte. Absolutely, girl!
Di gedung study center yang sangat ramai itu aku
tercengang. Karena banyak mahasiswa/i yang masih beraktifitas. Selebihnya,
karena merasa artikel yang berjudul “70 % MAHASISWI UIN JOGJA SUDAH TIDAK
PERAWAN” mulai masuk akal. Masalah faktanya,
I don’t care.
Paradigma ‘tercengang’
yang kedua adalah ketika kami memasuki kantor LPM Arena. Penghuni dinding yang
berjubel berlomba-lomba menyalami dan menyelami batas alam sadar kami. Guess what! That’s so incredible view.
Anak pers yang identik dengan menulis itu terbias
pada tulisan tangan (dalam tanda kutip, grafiti bebas) di hampir seluruh
dinding kantor LPM Universitas tersebut.
“Maaf kenyamanan anda terganggu,”
Sepertinya tulisan itu yang lebih subjektif,
sekaligus atraktif. Tapi, yang membuat greget adalah corat-coret itu bersifat
membangun. Sejenak aku rindu dengan kantor di dekat tangga yang kadang kala
kotor itu.
***
#Masih tercengang
Kami tiba di sebuah balai desa yang gelap di
sekelilingnya. Wajah-wajah asing menggerayangi kelima sosok yang hijrah dari
Salatiga. Well, we don’t have choice.
Eksistensiku dan kedua teman perempuanku sebagai peserta mengharuskan kami membaur.
Mengakulturasikan antara a bit of
experience and new experience.
Tentu saja mereka berdua, slundhap-slundhup saat
akan memasuki ruang yang sedang dalam acara itu. Nonbar, nonton bareng dari LCD
yang sinarnya dibiaskan langsung ke tembok. Lalu tibalah waktunya makan malam.
Tercengang yang kesekian adalah, alternatif piring
yang diganti kertas minyak itu berjajar memanjang. Diatasnya, nasi putih yang
membentang ditaburi sayur kangkung dan kerupuk. Kanan kirinya, terkontaminasi
tangan-tangan yang (kukira) sedang kelaparan.
Untuk selanjutnya, aku ikut makan. Sambil
menghayati masa dua tahun silam, ketika malam selepas pengayaan di pondok
putri. Entah syukuran apa, aku lupa. Yang jelas, suasananya lebih hebring dan
mengena.
“Tadi itu, es nya udah tak buntel pake handuk.
Tapi wong lama, jadinya udah agak cair,”Ungkap personel pondok putri yang juga
teman sekelasku.
Sejenak aku speechless. Ah, susahnya jadi anak
pondok. Mau begini susah, mau begitu susah. Tapi yang membuat terasa ‘agak’
menyenangkan adalah ketika keadaan benar-benar memaksa mereka untuk bersusah
payah, mereka selalu ada alasan untuk tertawa.
“Jangan-jangan budaya makan seperti itu yang
membawa juga alumni sekolahku,”Tebak hatiku.
According
to me, itu sah-sah aja. Pasalnya,
secara gituh! Ini adalah perekrutan lembaga pers mahasiswa tingkat universitas. Tapi nyatanya secara teknis
makan, berpakaian maupun sistemnya lebih mewah acara perekrutan LPM DinamikA-ku
yang notabene-nya satu-satunya LPM di STAIN Salatiga.
Tapi, usut punya usut... setelah aku
meng-observasi dan sedikit mem-paparazi bagian dari mereka, ternyata mulai dari
organisasi intra-ekstra sampai organisasi akademis-non akademis memang
menggunakan metode yang seperti itu. Emh..
it’s seems comfortable, di bidang pengelolaan administrasi maksudnya.
Perjalanan empat jam yang agak menjemukan tidak
berefek, pemirsa! Kami tetap harus mengikuti materi ke-Arena-an yang menurutku
tidak begitu penting. Bukan apa-apa, hanya saja ini kan lebih ke organisasi
yang aku sendiri bukan anggotanya.
***
#Wajib tercengang
Dan rupanya, materi yang (kukira) bersifat
individualis itu membuatku wajib tercengang.
“Harus mencakup tiga pertanyaan. Alasan kenapa
peristiwa tersebut bisa terjadi, alasan kenapa peristiwa tersebut dijadikan
sejarah, dan bagaimana poin-poin tersebut dapat mempengaruhi kondisi
sekarang,”Ungkap Mas Jamal yang sebagai pemateri, yang juga sebagai PU, dan
yang memergoki aku adalah kembarannya Niha.
Ya, dia
itu satu MA sama aku. Temen-temen juga bilang kalo kita mirip,kataku dengan
berbinar-binar. Dan itu mungkin
salah satu alasan kenapa sedari tadi orang itu melihatiku melulu.
Mulai dari tahun 1900 yang memberlakukan politik
etik, kebangkitan nasional, merchantinisme, liberal, hingga kelahiran pers. Ada
satu lagi greget yang membuatku untuk lebih semangat menulis. Waktu itu, yang
menulis di surat kabar hanyalah orang-orang yang terdidik. Dan ketika ada pembredelan pun tetap saja
berjuang kemudian menyusun surat kabar dengan brand nama yang berbeda.
Tapi di zaman yang sudah secanggih ini, motivasi
untuk menulis masih kalah dengan perkara sepele yang lain. Benar kata Bung
Karno, bawalah Jas Merah kemana saja meski sedang hujan. Hujan HUJATAN
(HUru-hara Jejaring sosial yang AkuT dan berkesinambungAN).
Ah, benarkah Bung Karno pernah berkata seperti
itu? Bahkan, aku bukanlah saksi sejarah zaman itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar