Tugasku hanya duduk, memegang HP dan sesekali mengajaknya bicara. Agar
suasana tidak terlalu membosankan,menurutku. Juga, agar anggota tubuhku yang
panas, tegang dan pegel itu tidak begitu terasa.
Tapi aku segera terkesiap. Biasanya nggak lewat sini, komentar hatiku. Ah, mana
mungkin perempuan berdarah temanggung yang sedang memboncengkanku ini berniat
untuk menculikku. Sama sekali tak ada untungnya.
“Ini, lewat Bandungan ya Da?”tanyaku setengah menginterogasi.
“He.m mbak. Biar lebih cepet,”Jawabnya setelah membuka kaca helm.
Ooh, pantesan! Aku sedikit familiar.
“Aku to, Da.. kalo nggak lewat sini tiga-empat kali nggak hafal jalannya.
Soalnya, dari dulu pun pas perjalanan selalu tidur,”Kenangku menilik kejadian
tahun-tahun lalu. Saat mudik lebaran atau libur semesteran untuk mengunjungi
warga Temanggung yang kebetulan darahnya mengalir di tubuhku.
Aku tidak begitu ingat Hida menjawab apa, yang jelas penyakitku yang suka
bercerita lagi kumat.
“Justru adikku yang lebih tahu. Bis apa, jurusan mana, lewat jalur mana
sampai ongkos yang yang harus dibayar berapa,”
Ah, tampaknya aku sedang rindu.
Aku merapatkan lengan, merasa angin sedang menggelitik suhu tubuhku.
Ceritaku yang ngalor ngidul dan diselingi tawa itu membuatku lupa sedang
menjalankan misi penting. Misi mengingat jalan. Biar nanti kalau aku sedang ada
kesempatan kabur bisa ber-advanture kesini.
“Wehh, Da!”
Sungguh, aku tak bisa berkata apa-apa. Piramida-terasering menampar
penglihatanku. Relief alami itu benar-benar menunjukkan betapa Allah itu Maha
mempesona.
Aku menengok ke belakang, sekadar memastikan ada tidaknya manusia yang juga
sedang terpesona. Tapi lagi-lagi aku yang dibuat terpesona. Emh, can I fainting at the moment? Marvelous scenery yang kupunggungi itu tak kalah
indah.
Sawah, lembah dan kabut bergandeng tangan. Awan yang terlihat merengkuh
pucuk bukit itu nampak teduh. Mau-mau saja aku membayangkan sedang jadi Si
Bukit. Apalagi di suasana hariku yang sedang malas kuliah namun giat
ber-traveling ria.
Lazimnya, aku harus sowan. Sekadar menciumi rumput yang kedinginan itu
dengan pucuk sepatu balet-karet andalanku. Sejenak memberi ruang bernafas pada
syarafku yang stress selalu. Tapi aku tidak. Hanya melanjutkan
perjalanan,karena sore segera datang.
Handphone pink-ku berdering. Bukan suara avril lavigne atau azzulfa yang
pernah jadi nada deringku sebelum-sebelumnya.
Hanya karena di playlist adanya suara Sa’ad Al-Ghamidi yang
mendengungkan juz 1-30. Bukan juga
karena aku terlalu alim, hanya saja tidak sempat mengisi dengan lagu lain
setelah kuformat. Dan berkat playlist yang isinya itu, teman-temanku
mengata-ngataiku dari ujung mulut sampai ujung rambut. Kemudian
mengait-ngaitkan pada kehidupanku yang seperti Ning (anak perempuan seorang
kiyai). Ahh, jelas itu dosa besar!
Suara budeku yang selalu riang gembira sedang menanyakan titik koordinat
tempatku berada. Orang temangung, selain ramah juga menghormati sesama. Plus
kasih sayang yang mereka berikan padaku. Jadi, jangan tanyakan mengapa aku
selalu memuji kota kelahiran ibuku itu.
Saking supelnya, budeku itu selalu menggodaku untuk menjodoh-jodohkan aku.
Mungkin beliau terlampau tau, keponakannya tidak laku-laku. Terlampau mengerti,
keponakannya sering berpacaran dengan laptop sambil mendengarkan percakapan temannya
yang mesra lewat pesawat telepon.
Mbak Ica, anak pakdeku yang masih
asyik bermain di TK kecil itu menangis dan merengek minta pulang. Tentu saja
acara qur’anan menjelang maghrib di rumah pakdeku yang area Temanggung kota itu
belum selesai.
Susahnya, kalau jadi ibu.
Kemudian, aku mendengar suara Mbak Ica yang kepo
sambil sesekali tertawa lepas. Ibunya yang guru SMA merengkuhnya, menggunakan
trik dongeng untuk sejenak melepaskan amarah anaknya. Sejenak aku trenyuh, sebelum
lincah berbicara di depan kelas tentu seorang ibu harus lebih handal berbicara
di depan hati anaknya.
Tentu kisah itu langsung terbias masuk ke hatiku. Aku
ingin menyangkal, suatu saat aku harus menjadi ibu. Aku masih ingin bermain,
traveling gratis kesana kesini tanpa panggilan ‘ibu’ saat pulang ke rumah.
Masih ingin belajar dan menghabiskan banyak waktu untuk berkisah. Aku... belum
sanggup.
“aku lihat kamu tidak tertarik di dunia permainan
itu,”Ungkap temanku,waktu yang lalu.
Dia menyebut masa pencarian jodoh itu sebagai
‘permainan’. Ya sah-sah saja. Ketika ‘mainan’ itu sudah usang, buang dan cari
yang baru.
“Hatiku sudah pernah usang, dan tak ingin mengalami
itu lagi. Aku cukup lelah untuk bermain,”Jawabku, ingin.
Namun, tentu saja aku tak buru-buru dengan senang
hati menerima godaan budeku itu. Masih banyak hal yang perlu aku siapkan.
Internal dan personal, bukan masalah sosok yang akan mendampingiku di masa
selanjutnya yang kukira ayah, pakde, bude beserta seperangkat saudaraku lainnya
yang mungkin sudah ada pandangan.
Model keluarga salafi dan sendhiko dhawuh punya ayahku atau fun family
punya budeku, aku sedikit banyak sudah merasakannya. Dan cita-cita
pengakulturasian antara keduanya idealis kurasa. Tapi jauh dari itu, aku masih
berawal dari titik. Belum berpijak pada piramida-terasering yang waktu itu
kukagumi.
Tentang pribadi macam mana yang layak melahirkan generasi emas milik agama
dan bangsa. Pribadi, ya! Kukira kebermulaan titik pribadi memegang sebagian
andil. Dan, jika aku boleh berpendapat tentang cinta, jangan terlau terpengaruh
pada koar-koar nama cinta yang kerap diangkat temanya di layar kaca. Ketika
kita survei lapangan, apa 100 % itu adanya? Tidak.
Setahap, sefase, namun runtut. Tangga terasering yang membentuk piramida
itu nampak anggun. Berbalut kemeja kabut yang putih dan meninggalkan kesan
lembut. Yang kusimpulkan, Semua itu... berawal dari titik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar