Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Selasa, 09 September 2014

#SHARING ANAK PERANTAUAN


Senin! Ada tiga opsi. 1. Kuliah; 2. Hang out; atau 3. kuliah dan Hang Out. Dan aku memilih opsi keempat, semua benar. #Hlo?
Seperti biasanya, Hang out tanpa tujuan yang menjadi rutinitas pribadiku akhir-akhir ini. Mengawali dengan silaturrahim ke Perpusda (tepatnya depan Perpusda yang baru saja kemarin kusinggahi) untuk melihat-sekalian menyalurkan hasrat gila buku.
Jam di tangan kiriku masih betah bertengger di angka 3, masih belum sore. Tiba-tiba ada usulan ghoibah yang mengomporiku untuk menengok taman (apa namanya aku juga nggak tahu) di JLS (jalan lingkar selatan) yang lebih suka disapa dengan JB (baca:Jebe) atau jalan baru.
Flashback berkelanjutan yang (alhamdulillahnya singgah sebentar di cerebral cortex-ku) memvisualisasikan malam yang tak lengang-persis-di jalan itu. Osh mai God! Ini kan jalan yang dari arah Kopeng. Berarti..berarti..
Aku ingat betul percakapan beberapa menit lalu,”Ngabuburit,yuk Cintah” Panggil temen nge-dateku yang lebih suka kupanggil Mas Nino ini.
“Kema..na ? aku berangkatnya udah dari jam 10 tadi. Capek,nih” jawabku sambil (agak) mempedulikan nasib punggungku yang menggendong tas berisi sebotol air minum, Lenovo G40 beserta chargernya dan beberapa buku yang totalnya (mungkin) sekitar 20 kilo itu.
“Eh, aku tau tempat yang view-nya bagus, atmosfernya juga cakep. Tapi.. jauh. Sekarang kita ke Jebe aja deh”tambahku.
“Terserah kamu,deh cintah”jawabnya yang mempunyai nama ijazah Nina Desyana Farikhah ini.
Jika Jakarta punya Bogor untuk tempat selfie yang background-nya natural dan (absolutely) tempat pelarian, maka Salatiga punya Kopeng. Yihaaaa, dengan menyusuri Jebe yang lebar, besar dan cocok sekali untuk arena kebut-kebutan itu, maka sampailah kita pada perempatan dengan plang Solo-Kota-Kopeng pada tiang kiri jalan yang berdiri dengan gagahnya.
Hanya menghabiskan several minutes untuk mendeteksi suhu dan view yang menggelitik kalbu. Duiileh! Jalanan yang naik-turun-berkelok membuat hati kami turut meliuk-liuk. Bukan karena saya anak ndeso yang (identik dengan gumunan dan pinginan) tak pernah melihat jalan-jalan semacam itu. Sering,kok! Temanggung lebih WaoW kukata. Yang membuat perjalanan ini terasa berbeda adalah, pelarian dari rutinitas yang itu-itu aja dan ke-berdua-an kami yang menemukan jalan menuju surga (loh! Nyambung amat),hehehe.
Agrowisata keluarga, balai salib putih dan camping land berjajar mengantri di kanan jalan. Sedangkan the shadows of mountain mengiringi sepanjang perjalanan di sisi kiri. Beberapa gunung yang kutebak bernama gunung Gajah Mungkur, Gunung Telomoyo dan Gunung Payung Rong ini begitu gagah dan melambai-lambai untuk disinggahi. Ouhft.. inilah traveling sesungguhnya.
Beberapa dari kami (anak perantauan_red) suka bingung jika ditanya ‘Emang Wisata di Salatiga apa aja,Mbak?’
Ya pastilah jawaban standar kita ‘Ada Pansi yang pernah dibuat manggung Haddad Alwi tahun lalu, Pasaraya dan perangkat standarnya( Mall, Hotel dan kompleks pertokoan) yang pernah juga dibuat manggung Habib Syeh dan Atlantic Dreamland dengan 16 macam wahana permainan yang memadukan konsep education and tourism’
Bahkan, keberadaan desa wisata di Tingkir Lor yang pernah diadakan Sapta Budaya dan didatangi beberapa petinggi negara beserta Mas-Mbak Salatiga ini belum banyak diketahui. Padahal, disinilah terjadinya varian produksi yang diekspor sampai ke luar negeri. Bukan Cuma itu, giatnya masyarakat dari berbagai golongan juga turut berpartisipasi dalam rangka menggerakkan jalannya roda wirausaha yang terbukti dengan direkrutnya salah satu anggota mereka yang mendapat kesempatan training di Bali. Seronok,seronok,seronok.
Kemudian, siapa yang tahu Desa Kecandran? Desa yang sedang berjuang untuk dinobatkan menjadi desa wisata ini mayoritas warganya menanam salak. Aku ingat betul, pertama kali saat melewati kebun (pantesnya disebut hutan) salak ini di pagi yang selalu dingin. Where am I? Sejenak aku hilang kesadaran dan merasa sedang dolan ke negeri aman tentram bernama Papua. Apalagi, ketika aku melintasi kebun ini di malam menjelang pagi, dinginnya sudah tak bisa diprediksi.
Untuk kaula muda yang sedang merasa dunia milik berdua dan tiba-tiba yang lain jadi anak kontrakan, pasti tidak melewatkan wisata yang satu ini nih. BUKIT CINTA. Ouuwh, judulnya aja bikin ngiri. Membayangkan beautiful scenery yang romantis, hawa dingin yang butuh dekapan dan taburan asmara dimana-mana. Pengalaman ya,Mbak? Iya, pengalaman pribadiku nonton film korea yang berpuluh-puluh episode dan kuhabiskan dalam jangka waktu 3 hari itu.
Sstt, tapi aku diam-diam juga mengidolakan tempat ini loh! Bukan karena ingin merasakan sensasi film Korea yang bikin jambak rambut temen itu, tapi pada sisi lain bukit cinta. Jika tadi adalah dunia generasi muda yang sedang semangat berasmara, kini adalah dunia enterpreneur yang semangat dalam berwirausaha. Jadi, dapat dipertimbangkan.. seperti apa sosok saya sebenarnya (numpang iklan).
Bukit yang lengkap dengan ornamen danau yang mempunyai luas 2670 hektare ini ternyata menempati wilayah kec.Ambarawa, Bawen,Tuntang dan Banyubiru Kabupaten Semarang. Rawa pening, begitu orang menyebutnya. Budidaya enceng gondok, begitulah hal yang (kebetulan) menarik perhatian saya.
(balik ke cerita nggak mutu yang paling atas tadi)
“Habis ini kemana?”tanyaku pada Mas Nino yang sudah selesai sholat dan sedang membenahi kerudung parisnya.
“Balik aja yuk”
Aku mengiyakan, planningku gagal untuk berburu jeruk baby sama terong unyu (bukan nama sebenarnya, soalnya aku lupa namanya. Entah itu terong belanda apa terong Inggris, yang pasti rasanya seger banget) dan sayangnya hanya ada di dataran-masih tinggi-di Kopeng. Berhubung juga, dua jiwa dari kami nggak ada yang pake helm dan jaket. (Sekarang bayangin aja, di sore yang ‘masih dan nggak bosan-bosannya selalu’ dingin tanpa kedua important things itu)
“Eh, mas tak liatin,”jemariku (yang kata orang)  lentik itu meloncat-loncat indah. Terpampang di monitor sebuah foto berdesak-desakkan yang kesemuanya doyan narsis.


“MasyaAllah, ini anak siapaa,”
Jawabku Cuma ’hehe’.
Kebetulan saat aku membuka salah satu barang bawaanku yang berat ini, para tuyul tak berdosa itu penasaran di belakangku. Yowis, tak training aja foto bareng artis. Tapi ngomong-ngomong aku yang sebenernya lagi kangen sama anak-anak kampung halaman. Nahloh, ketahuan deh udah punya anak.
Kali ini natijahnya dipaksain, Cuma share aja bentuk wajah Salatiga dalam perspektif wisata yang sesungguhnya. Ini pun nggak mencakup semuanya, Cuma several experience yang kebetulan in a fact.
Dan akhirnya, mari kita tutup #sharing anak perantauan yang nggak mutu ini dengan mengutip kata berlian dari penulis.
“Membuat kesibukan di tanah rantau itu wajibah, biar pertanyaan (kapan pulang?) yang sangat menyiksa jiwasraya itu tidak menyaingi mystical question (yang berbunyi = Man Robbuka?) dari malaikat Roqib & atid, ”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar