Masih hari raya idul fitri ‘kan ?
Lumrahnya, prepare
menuju hari nan suci ini yang tergambar jelas di memori kornea mata kita adalah
bulir-bulir kesibukan. Entah itu sibuk memenuhi toples di atas meja, sibuk
memenuhi stok baju baru dalam almari ataupun sibuk memenuhi daftar panjang
rumah yang akan disinggahi.
Sholat
ied, maaf-maafan dan makan-makan. Tiga rutinitas tersebut merupakan hal yang
paling menonjol . Namun, apa hendak dikata jika hal seperti ini ternyata hanya
bisa dinikmati oleh kalangan tertentu.
Sekitar
pukul 10.00 WIB, masih hari pertama. Tapi saya sudah menemukan seorang penjual
makanan yang menjajakan makanan anak-anak. Batin saya berteriak. Apakah hidup
ini belum cukup adil ? di hari yang bisa dikatakan spesial ini masih ada
orang-orang yang harus membanting tulang menghidupi keluarganya.
Hari-hari
berikutnya, masih (juga) saya temui orang semacam itu. Terkadang aura negatif
menjalari pikiran saya. Inikah yang membuat hari raya idul fitri tidak
se-istimewa masa kecil saya. Mereka lebih memilih mencari nafkah dan mengambil
keuntungan daripada memaknai suasana itu dengan sepenuh hati. In the other hand, kata ‘bagaimana’
tampaknya langsung mengambil alih mindset
saya. Bagaimana jika tidak ada mereka ? pasti setiap harinya hanya akan
makan kue kering, mie instan ataupun opor ayam.
Dan..
siapa yang pernah punya cita-cita menjadi tukang tambal ban ? baru saja saya
sadari, pekerjaan itu amat-sangatlah mulia. Apalagi di musim mudik. Bayangkan
(lagi-lagi) bagaimana jika mereka lebih khusyuk bersemedi menghayati idul
fitri. Para pemudik yang mendapat gangguan pada kendaraannya pasti akan sangat
menderita.
Kembali
dengan judul diatas. Lalu, bagi mereka apakah-juga-ada hari raya ? tentu saja.
Dari segi finansial mereka memanglah mengambil keuntungan. Tapi, hal yang
terpenting adalah segi kemanusiaan.
Mereka merayakannya bukan dengan air kemasan
di sudut meja, toples berjajar macam-macam rupa atau berlembar-lembar baju baru
menyambut anak-cucu. Tapi dengan air mata di sudut rasa, setoples kelelahan
atau berlembar-lembar senyum yang terbias pada peluh mereka. Terkadang hidup
memang tak adil. Tapi dengan ketidak-adilan inilah yang menyatukan kita dalam
perbedaan. Selamat idul fitri dan selamat merayakannya dengan cara yang
berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar