“Saya bingung mau ngomong masalah cinta
sedangkan saya sendiri belum baligh,” Ujar Aguk Irawan MN. Sang narasumber yang
didatangkan langsung dari Jogjakarta.
Maka meledaklah tawa para peserta yang terbagi
dalam dua barisan-yang (tak) rata komposisinya. Yups, siapa lagi kalau bukan peserta
bedah novel “Gus Dur & Sinta” (Sebuah romansa tentang buku, bunga dan
cinta) di Ponpes Edimancoro pada ahad, 17 Mei 2015. Sesuai dengan judul di
atas, maka tema pembicaraan pada majlis yang insyaallah mubarokah ini adalah
CINTA.
Tengterengtengteng…
(Dijamin nggak ada yang ngantuk deh… terutama
yang nulis. Hhe-)
Sebagai seorang profil politikus, ulama dan
pengajar yang namanya sudah mendunia, ternyata Gus Dur (panggilan akrab KH.
Abdurrahman Wahid) mempunyai kisah cinta yang to tweet melebihi drama korea
yang berpuluh-puluh episode itu.
Dibocorkan sedikit oleh Sang penulis (Pak Aguk),
bahwasanya Bu Sinta yang trauma dengan persoalan cinta tidak kunjung menanggapi
perasaan Gus Dur. Meskipun begitu, bukan Gus Dur namanya jika menyerah-rah-rah.
Beliau tak kurang akal, mulai dari mendekati ayah
dari Bu Sinta dengan alasan main catur, mengiriminya surat yang romantis tanpa
unsur anarkis, sampai pemberian buku dan bunga yang dari berbagai belahan dunia
(waktu itu Gus Dur berada di Mesir, Baghdad, dan Perancis).
Bahkan, ketika sudah berumah tangga unsur
keromantisan beliau tidak luntur begitu saja. Ketika marah, Gus Dur tak berani
menyampaikan langsung pada Bu Sinta. Tetapi menuliskannya dalam secarik surat
yang diperuntukkan kepada istri tercintanya.
Acara tersebut juga menghadirkan seorang narasumber
dari magelang, Bpk. Muhtadi. Seorang cerpenis Jawa Pos yang juga alumni
Al-Azhar, cairo-Mesir tersebut juga turut menyampaikan romansa kisah cinta Gus
Dur dan Bu Sinta.
“Pada suatu acara kenegaraan, lengan baju Gus
Dur terlipat dan kelihatan bekas setrika. Temannya pun menegur dan menyarankan
untuk ganti baju. Namun, apa jawab Gus Dur? Beliau berkata, ‘biar saja. Kasihan
istri saya yang sudah capek menyetrika-kan,” Ujarnya yang ternyata berasal dari
Pati itu.
(Aah, serasa ketemu dengan saudara!)
Kemudian baru saya tahu bahwa beliau juga
alumni dari MA ku dulu.
(Aah, serasa ketemu dengan keluarga!)
Back to topic. Zzzz
Pak Aguk yang melanjutkan studinya di UIN Sunan
Kalijaga, Jogjakarta mengungkapkan,”ini adalah novel terlama yang saya buat. Sekitar
10 hari”
10 hari? Lama? Bahkan saya sendiri harus
mendeskripsikan kata ‘lama’ tersebut. Karena penasaran dengan seorang yang
telah menulis 70 novel itu, maka diberikanlah tips-tips menulis novel.
Mengutip dari notes book saya yang berwarna
cerah tersebut, maka dibawah ini adalah tips-tips menulis novel ala ak Aguk:
1.
Sisakan waktu, istiqomahlah!
Menulis itu fleksibel. Boleh
bagi siapa saja. Tidak ada waktu? Hmm, mari dengarkan ceramah beliau barang
sebentar:
“Setiap hari saya melihat seorang tukang bakso. Ia tak pernah
absen berjualan. Semua orang dilayaninya. Entah yang pake mobil, motor bahkan
yang jalan kaki pun iya. Mau laki-laki, perempuan, tua ataupun muda tidak
mendapatkan perlakuan yang belakangan ini disebut dengan diskriminasi. Itu yang
tukang bakso, padahal kerja sebagai tukang bakso itu lebih sulit daripada
seorang penulis.”
Menyikapi hal tersebut, beliau menyisakan waktu khusus di
pagi hari untuk menulis. Sedikit tapi istiqomah. And see? Beliau dapat menulis
satu novel hanya dalam satu minggu.
2.
Buat draft
Banyak penulis pemula
yang ide-idenya bermunculan di ruang otaknya namun ketika sudah berhadapan
dengan keyboard, ujung jemarinya menggantung dua senti. Hilang, blank, zonk!
Maka dari itu, penulis
yang juga mengajar di ponpes Pandanaran dan Krapyak tersebut menyarankan untuk
membuat draft per bab nya.
3.
Data.
Nggak keren dong kalau
novelmu tanpa background yang bermutu? Maka dari itu, tulisan harus didukung
dengan data yang valid. Bisa dari riset/penelitian atau wawancara dengan sumber
terkait.
4.
Punya target
Yang satu ini absolutely
kudu dicantumin dalam notes. Bukankah dengan target kita lebih
termotivasi?
“Sebuah tulisan adalah salah
satu cara untuk bahagia, tertawa bahkan membunuh kesedihan,” Ujar salah satu
dari dua narasumber hebat tersebut.
bagus bgt zah, kembangkan bakat menulismu ;-)
BalasHapus:D syukron.. sebenernya kalau dibaca lagi tulisan diatas terkesan tergesa2.. maklum, masih latihan
BalasHapusMalam mbak,saya bener bener nyari novel Gus Dur dan Shinta ini tapi engga nemu, padahal udah contact penulis dan penerbitnya. Bolehkah saya minta info novel ini?
BalasHapusMaaf mbak, sudah lama nggak buka blog ini. Saya sendiri juga tidak punya bukunya. Mungkin bukunya sudah habis dan nggak cetak ulang. Coba saja cari di online shop. Semoga ketemu ya mbak.
BalasHapus