Reporter adalah sebutan crew yang bertugas mencari dan menulis berita. Biasanya, untuk menjadi seorang reporter diperlukan beberapa tahapan. Reporter disini dengan garis bawah reporter kampus lho, guys! Mungkin secara substansinya sama dengan reporter resmi pada umumnya, tapi secara operasional, target, maupun cakupan mempunyai implementasi yang berbeda.
Di sebuah lembaga pers kampus (DinamikA_red) yang saya geluti selama 6 semester ini, ada beberapa tahapan pra reporter. Diantaranya, Pelatihan Pers Mahasiswa Tingkat Dasar (PPMTD) dan Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut (PJTL). Kenapa harus begitu? Sebelum masuk ke dunia reporter saya kira harus jelas apa dan bagaimana jurnalistik itu. Belum lagi ke bagian-bagian yang terasa asing tapi sangat penting bagi para anggota baru.
Di tahapan PPMTD biasanya berisi pemadatan materi tentang jurnalistik, fotografi, keorganisasian, dan lay out. Dan apakah mahasiswa yang mengikuti PPMTD terjamin ke-shohih-annya dalam paham jurnalisme? Tentu tidak semua materi tercover sempurna. Maka dari itu, diperlukan beberapa pelatihan yang harus diikuti oleh Crew Magang (Crew Magang adalah sebutan bagi anggota yang belum melalui tahap PJTL). Di tahapan ini, Crew Magang juga dibebankan sejumlah tugas sebagai bentuk persyaratan mengikuti PJTL. Di tahapan ini juga, Crew Magang mulai memainkan perannya sebagai reporter kampus.
Pernah, suatu hari (pas masih jadi Crew Magang) entah liputan yang ke berapa, saya dan teman-teman meliput expo di alun-alun kota. Ya, namanya expo kan sambil jalan-jalan sambil interview Pak Polisinya. Eh, kitanya malah disuruh makan bareng dan balik diwawancarai. Itu tuh greget nya di liputan. Pasti ada hal-hal unpredictable yang jarang kita temui di datarnya kehidupan sehari-hari. Istilahnya, liputan itu dolan ke kehidupan orang lain. Kepo sana kepo sini.
Untuk menemukan greget itu tentu saja harus melalui proses. Tidak jarang seorang reporter yang menunggu berjam-jam dan cuma bisa interview lima menit. Bayangkan, lima menit! Tapi itu sudah untung juga bisa wawancara, nah kalo sudah nunggu lama tapi akhirnya dicancel? Untuk itu, menjadi seorang reporter (meskipun hanya reporter kampus) diperlukan kesiapan material dan mental.
Disini, saya akan mengulas beberapa hal yang diperlukan seseorang untuk menjadi seorang reporter kampus. Em, kenapa reporter kampus? Karena yang akan saya tulis ini based on experience. Bagaimana saya menjadi seorang reporter kampus yang benar-benar memulai dari nol, bahkan minus!
Based on experience lagi, bagian reporter itu ada dua: meliput berita dan menuliskannya. Meliput berita sendiri harus ada prepare nya. Ngomong-ngomong tentang liputan, liputan itu sejatinya apa sih? Apakah dalam penulisan berita harus mengalami proses liputan? Liputan, dapat dimaknai dengan searching, semacam pengumpulan sumber informasi (karena sumber informasi bisa didapat dari data dan opini narasumber). Saya kira prinsip gelas kosong patut diimplementasikan ketika menjadi reporter karena hal tersebut dapat mempengaruhi informasi yang akan diterima.
Semakin banyak informasi yang diterima maka akan semakin banyak bahan yang dapat diolah. Liputan itu semacam berbelanja di pasar, seorang reporter perlu mencari bahan dan resep agar tulisannya nikmat memikat. Tentang haruskah seorang reporter melakukan liputan, saya kira liputan memberi sumbangsih besar dalam dunia penulisan yang mendukung kepadatan substansi. Namun, ada beberapa metode pengumpulan informasi yang cukup dengan data saja.
As I said before, ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika dalam tahapan pra liputan. Mulai dari mencari isu, penguasaan materi, stock mental, dan hal-hal yang berbau kemungkinan. Hal-hal semacam ini perlu diketahui dan diimplementasikan jika ingin liputan berjalan maksimal.
Setelah itu? Show off! Dalam liputan, tentu ada semacam tips-tips kecil dalam menaklukkan narasumber, situasi maupun diri sendiri. Tantangan dan hal-hal yang tidak bisa diperkirakan memang sesuatu yang tidak dapat diduga. Tapi, solusi dan antisipasi yang harusnya jadi amunisi.
Kemudian, apakah hanya sampai pada itu saja? Ooh, tidak! Masih ada satu tahapan dimana sebuah liputan dikatakan sah dan sempurna. Menulis! Karena itulah reporter special. Baik momen liputan maupun momen dalam menghasilkan tulisan, semuanya bersifat krusial. Keduanya akan menghasilkan sebuah kepuasan jika dipersiapkan.
Menulis adalah momok mengerikan bagi sebagian orang. Membaca buku yang tebal saja sering malasnya apalagi menuliskannya. Keep calm, guys! Tulisan yang dibahas kali ini hanya sebatas berita. Hanya? Yah, ada beberapa macam berita yang tentu menurut kadar kesanggupan dalam menuliskannya.
Dalam skill menulis, hal-hal yang dibutuhkan tentu bersifat jangka panjang mengingat hal ini lebih pada kepekaan. Namun, jangan khawatirr, semua itu bisa dipelajari. Kuncinya, banyak-banyak saja membaca berita.
Dalam kasus ini, menulis bukan hanya tentang menuangkan data yang telah dikumpulkan. Tapi, lebih dari itu menulis juga sebagai sarana penghubung informasi yang sesuai komposisi dan intuisi. Ada angle yang harus diperhatikan dalam menulis sebuah berita agar tetap fokus dan tidak keluar jalur.
Hal ini sama juga ketika menentukan sebuah judul. Tidak dapat dipungiri bahwa judul adalah hal pertama yang dilihat pembaca yang berkaitan dengan nasib berita. Sebuah berita yang mempunyai judul unik menarik lebih besar peluangnya untuk dibaca daripada judul yang biasa-biasa saja.
Begitu juga dalam bahasa yang digunakan. Berita bersifat informatif, maka bahasa yang digunakan harus sesuai dan tepat sasaran. Untuk itu, diperlukan feel dalam menuliskannya. Untuk memunculkan feel itu, memang memperbanyak membaca dan menulislah kuncinya. Hal itu semacam investasi transparan yang sewaktu-waktu sangat dibutuhkan.
Liputan, membuat tulisan, sudah? Tentu saja belum. Self editing! Kenapa harus ada self editing? Bukankah dalam jajaran keredaksian sudah ada yang bertugas mengedit berita dan kawan-kawannya? Self editing dapat meminimalisir kesalahan dalam menulis. Dengan self editing juga dapat merupakan koreksi pribadi yang melibatkan emosi. Dalam self editing, ada semacam perasaan yang membela mati-matian sebuah tulisan, namun di sisi lain self editing sendiri juga bersikeras untuk menghapus bagian dari tulisan tersebut.
Menjadi reporter tampaknya memang pelik, tapi tidak dapat dipungkiri banyak juga hal-hal yang asik dan menarik. Jadi, siapkah kamu jadi reporter kampus yang pintar ber-cas-cis-cus?
Sepatah Kata
Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata
Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata
Rabu, 16 Maret 2016
Sabtu, 05 Maret 2016
Ini Adalah…
Ini adalah...
Sabtu pagi yang mulai beranjak siang, disini aku menyelesaikan 536 halaman novel “Kinanthi: Terlahir Kembali” yang seharusnya sudah kukembalikan ke Arsipda Salatiga 18 Februari lalu. Terlalu lama? Kali ini aku tak ingin membahas tentang itu.
Sabtu pagi yang mulai beranjak siang, disini aku menyelesaikan 536 halaman novel “Kinanthi: Terlahir Kembali” yang seharusnya sudah kukembalikan ke Arsipda Salatiga 18 Februari lalu. Terlalu lama? Kali ini aku tak ingin membahas tentang itu.
Aku
mulai merapikan struktur wajah kucelku, mengancingkan satu kancing di baby
doll putih bunga-bungaku, dan melihat jejak-jejak letupan perasaan yang
meleleh di sudut kelopak mataku. Setelah itu semua, aku hanya ingin mengulas
sedikit tentang novel karya Tasaro G. K. Sekadar memberikan komentar,
opini, maupun asumsi. Biar kece katanya….
Kinanthi
terlahir sebagai anak yang dikucilkan oleh sebagian besar orang di desanya. Ayahnya,
seorang penjudi dan ibunya sendiri ‘kata orang-orang sih’ juga bukan wanita
yang baik-baik. Sekilas ini memang terlalu klise dan impossible mengingat
Kinanthi ternyata adalah gadis cantik yang cerdas. Kukira ini juga akan
berakhir dengan adegan-adegan dan ending yang klise juga.
Ternyata
tidak! Kisah yang suka sekali membuat bahuku berguncang ini juga menyodorkan
betapa dekatnya dengan kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan realita. Ayahnya
sangat sayang kepada Kinanthi, sebagaimana ekspresi sayang bagi orang-orang
yang hidup di dunia realita.
Hal ini berangkat dari setiap cerita
yang kuanalisis, seorang tokoh itu ya.. kalau tidak sempurna banget pasti
nelangsa banget. Setidaknya ‘tokoh’ itu tetap manusia ‘kan? Harusnya tetap
ada element of truth nya meski itu dalam dunia dongeng sekalipun.
Oke
lanjut. Aku tidak ingin mengulas tentang sinopsis kisah itu disini. Takut akan
menciderai imajinasi para calon pembaca. Ngerti ya?
Pada
suatu hari, untuk memenuhi obsesiku terhadap dunia fiksi, aku mendatangi sebuah
acara roadshow oleh salah satu penerbit terkenal. Kutanyakan pada
narasumber yang juga sebagai editornya, “Kenapa yang sering diangkat dalam
sebuah novel adalah kisah cinta? Padahal kalau kita tinjau dari kehidupan
sehari-hari, cinta seakan menjadi nomor seratus dua puluh lima.”
Aku
tak ingin berpikir jauh-jauh. Cinta terlihat indah jika dideskripsikan dengan
kata-kata (dan sepertinya kamu perlu mempertimbangkan bagaimana bahagianya di-jatuhcintai
oleh penulis dengan seksama). Selebih itu, cinta mungkin diekspresikan dengan bentuk yang
lain.
Jawabannya
satu, marketing. Sebenarnya jawabannya banyak, tapi kesimpulanku
mengatakannya pada satu kata yaitu marketing. Ya, tentu saja kau harus
mengerti bahwa tidak hanya butuh berlembar-lembar kata cinta untuk hidup
bahagia, ada juga tentang materi, keseimbangan, dan hal-hal yang mungkin setiap
orang hanya disembunyikan rapi dalam hati.
Begitu
juga dengan Kinanthi. “Mencintai itu satu perkara, sedangkan memiliki itu
perkara yang lain, Zhaxi. Saya sedang belajar untuk memahami itu,” ucap
Kinanthi di halaman 530. Ada hal yang memang tak bisa dipisahkan dari
kehidupan, perasaan, permasalahan dan marketing itu sendiri. Tapi setidaknya
dalam kisah ini cinta bisa dipandang dalam perspektif realita, dan itu lebih
mendekatkan pada logika.
Tentang
perjalan hidup Kinanthi yang bermula dari anak yang dikucilkan, ditukar oleh
ayahnya dengan 50 Kg beras, berkali-kali menjadi korban TKW sehingga meraih
gelar professor di negeri Paman Sam itu, kukira wajar saja. “Wong dia
tokoh utama, kok!”
Selain
tentang konsep cinta-realita yang ada dalam kisah ini, pembaca juga diajak
kembali menelaah berbagai macam fenomena sosial. Kita sering akrab dengan dunia
pedesaan, tapi tak pernah benar-benar merasakan itu sebagai kondisi yang spesial
sekaligus kontroversional. Begitulah, sungguh apik Bang Tasaro mendeskripsikan
setiap detil setting. Di Wonosari, Bandung, Riyadh, Kuwait, Amerika,
hingga dua puluh tahun kemudian saat Kinanthi kembali lagi ke Wonosari.
Seperti
standar novel berkualitas asumsiku, novel ini sangat padat pengetahuan dan
wawasan. Itu tergolong cocok untuk orang-orang yang masih belum suka membaca buku
tematik tentang pengetahuan, meskipun tebalnya tak seberapa.
Begitu
juga konsep ‘mimpi’ yang selama 3 tahun terakhir ini membuatku bergairah hidup
kembali. Kembali? Ah tidak usahlah membahas yang itu. Di dalam kisah ini memang
Kinanthi sudah punya modal utama: cerdas. Tapi toh ia mempunyai masa lalu yang lebih
rumit ketimbang saya, kamu, ataupun tokoh-tokoh pada dunia realita. Tapi itu
tidak mengurangi kadar semangatnya bukan?
Maka, itu
yang membuat novel ini bebas dibaca oleh segala usia. Karena belakangan ini,
banyak sekali karya sastra yang ternyata membahas persoalan dewasa. hal tersebut berpotensi untuk menciderai
pemikiran-pemikiran mereka yang masih suci dan sibuk mencari jati diri. Masih ingat
‘kan tentang salah satu unsur ekstrinsik sebuah cerita: amanat penulis. Tapi, lebih dari
itu pun penulis sama halnya guru yang mengajari anak didiknya. Ada sebuah beban
moral yang sedang diajarkan.
Seharusnya ada label batas usia di
setiap buku yang akan kita konsumsi. Beberapa memang ada, tapi sebagian besar
tidak! Mungkin itu akan sangat bermasalah dalam bidang marketing. Iya, tidak?
Ada rasa nyesek juga kenapa
tidak bisa melahap buku ini dalam rentang waktu yang lebih singkat, juga
buku-buku berkualitas yang lain. Tapi aku sedang hidup di dunia realita,
terkadang aku boleh duduk sambil mewek dan nggak bisa diganggu siapapun pas
lagi baca (padahal aku sendiri sebel setengah mati kalau lagi BBM-an tapi
ditinggal baca); fokus dengan beberapa mata kuliah beserta tugas-tugasnya;
mengekspresikan hobi, obsesi atau semacam pembebasan diri; dan berlomba-lomba
bangun pagi antri kamar mandi.
Ini
adalah…
Resensi?
Asumsi? Atau curahan hati? entahlah, ku masih mualaf tentang semua ini.
Minggu, 28 Februari 2016
Demi ‘akar-akar’ pemikiran
Hal yang paling menyenangkan adalah
mengingat masa kecil. Entah itu hanya terjadi padaku atau sebagian besar
mantan anak kecil yang ‘katanya’
telah dewasa.
Disana, ada kebahagiaan murah meriah namun tak murahan. Ada juga selaksa
tangisan yang cepat reda karena iming-iming jajanan. Indah, ya?
Tentu saja itu bagian yang kusuka.
Salah satunya adalah ketika…
Ketika itu, setelah pulang
sekolah aku dan teman-temanku suka sekali berhenti di bawah Pohon Keres.
Pohon Keres, Pohon Karsen, atau yang lebih populer Pohon Talok.
Buahnya manis agak kersak. Mengambilnyapun cukup mudah. Buahnya yang terus
panen tiap hari itu menyajikan kebahagiaan tersendiri olehku dan teman-temanku.
Beberapa
waktu setelah itu, kami tidak melihat pohon yang berbuah kebahagiaan itu
berdiri kokoh, seperti biasanya. Sebagai gantinya, beberapa oggokan kayu,
daun-daun hijau, dan buah Keres yang sebagian besar masih hijau
berserakan di atas tanah coklat yang menggersang.
Sehari,
seminggu, bahkan setahun setelah itu teman-teman sudah menemukan kebahagiaan
lain. Bermain masak-masakan, betengan, bancakan, dan lainnya. Tapi mencari buah Keres bagiku adalah ‘feel’
tersendiri.
Meski leher terkadang
lelah saat memegangi dobos panjang yang ujungnya diberi botol minuman
bekas. Ya, maklumlah aku anak rumahan tulen. Jadi, tidak bisa memanjat pohon
yang tidak begitu tinggi sekalipun. Akhirnya, kupergunakan tongkat panjang yang
terbuat dari dobos, kemudian ujungnya bertemu dengan ujung botol bekas
yang dipotong setengah badan kemudian diruncingkan, dibuat bergerigi. Feel
itu semakin bertambah saat mengaitkan tangkai buah dan gerigi botol. Apalagi,
kalau buah Keres merah merona itu resmi terlepas dari tangkainya. Pulp!
Sejauh itu hati kami bahagia melayang tapi tak terbang.
Usut punya usut,
bukan tanpa sebab kenapa Pohon Keres itu ditebang. Kata yang punya
rumah, akarnya yang menjalar panjang itu akan merusak pondasi rumah. Karena
panjang akar sama panjangnya dengan panjang batang,
begitu sih katanya. Maka dari itu, lebih baik Si Pohon ditebang dan
berakhirlah binar-binar kebahagiaan.
Ini tentu
hanyalah hal sepele yang di kemudian hari jadi serius. Tapi tentu bukan
penyelesaian jika pohon Keres lainnya harus ditebang karena merusak
pondasi bangunan. Yups, semua itu butuh pelampiasan yang sesuai.
Jika pohon Keres
itu ditanam di tanah yang luas, maka akan semakin banyak buah-buah kebahagiaan
yang akan dipanen. Toh pohon itu tidak hanya berfungsi sebagai penghasil buah
gratis yang juga enak abis. Disamping itu, ia bekerja keras menghasilkan oksigen
sekaligus menyerap karbon dioksida dengan sekuat tenaga.
Kasus ini
mirip sekali dengan yang beberapa waktu terjadi padaku. Akhir-akhir ini, seolah
ada ‘aku’ yang lain yang sama-sama tinggal di pikiranku. Ia begitu berisik, tak
mempedulikanku yang lelah batin dan fisik. Apa-apa yang telah kulihat lewat mata
bertransformasi menjadi satu-kesatuan informasi yang panjang tak berpangkal.
Aku mulai
bosan, ‘akar-akar’ pemikiran itu lama-lama mengganggu pokok ‘pondasi’
pemikiranku yang lain. Ada ‘aku’ lain yang berubah drastis jadi antagonis.
Bukankah itu sayang sekali jika harus menebang ‘akar-akar’ pemikiran yang
dikaruniai khusus dari Tuhan?
Semua itu
butuh pelampiasan, kata ‘aku’ yang hanya sebagai figuran itu. Seperti Pohon Keres
yang telah ditebang, begitu juga seperti kebahagiaan yang telah mengawang. Aku
mulai melampiaskan ‘akar-akar’ pemikiran itu lewat apa yang biasanya disebut
kekata. Lengkap dengan tinta dan secarik kertas yang akhir-akhir ini cukup berbentuk
soft file saja. Lucu juga, berhadapan dengan layar putih seperti kertas,
memencet tombol-tombol yang tak sesuai abjad indonesia.
Sekali, dua
kali, tiga bahkan beberapa kali aku membacanya tentu saja jelek di mata ulama
sastra Indonesia. Aku ingin... sekali tak peduli. Tapi aku mempertahankan dan
‘melihat’ ada kehidupan dalam tulisan malang itu. untuk pertama kalinya, bagiku
menulis bukanlah sebuah pelampiasan.
Ada sesuatu
yang ‘unik’ dalam setiap orang. Begitu juga denganku. Iya kan? Aku tidak memaksa
siapapun untuk melihat itu. Tapi aku ingin diriku sendiri yang mengeksplorasinya. Caranya? Itu
yang sedang kupikirkan.
Ada keasyikan dalam membaca dan menulis yang hampir sama namun, tak serupa. Jika
membaca seperti masuk melalui sebuah pintu, maka menulis itu ibarat keluar
melalui pintu itu. Bahkan, ketika kita keluar melalui pintu itu, terkadang tidak
lupa menggandeng buah tangan di kiri dan kanan ‘kan? Kurasa itulah alasan
kenapa aku memilih menulis. Dari sekian ribu aktifitas fisik dan batin, kupilih
menulis untuk mempertahankan ‘akar-akar’ pemikiran dan aneka ragam kebahagiaan.
Seperti Pohon Keres yang hanya perlu
ditanam/ tertanam di lahan yang lapang, akar-akarnya tidak akan mengganggu
pondasi bangunan yang kokoh terbentang. Begitu juga denganku, aku hanya
membutuhkan ruang agar ‘akar-akar’ pemikiran itu tertuang maksimal. Tentang aneka
ragam kebahagiaan? Ah, itu nanti sajalah!
Selasa, 04 Agustus 2015
Pengumuman Seleksi Ma'had Al-Jami'ah Putri IAIN Salatiga
Suasana Tes Ma'had pada Senin (03/08/2015) |
HASIL SELEKSI MA’HAD JAMI’AH PUTRI
IAIN SALATIGA
PERIODE 2015/2016
NO
|
NAMA
|
DOMISILI
|
KETERANGAN
|
|
1
|
Afidatus
Afida
|
Mojokerto
|
MA'HAD IAIN
|
|
2
|
Afri'atun
Nasikhah
|
Temanggung
|
MA'HAD IAIN
|
|
3
|
Afroul Aini
|
Batang
|
MA'HAD IAIN
|
|
4
|
Alfi Ayu
Tantriyani
|
Sragen
|
MA'HAD IAIN
|
|
5
|
Alifaful
'aina
|
Temanggung
|
MA'HAD IAIN
|
|
6
|
Alinatul
Munawaroh
|
Boyolali
|
MA'HAD IAIN
|
|
7
|
Alnunnajah
Ulli emas
|
Sragen
|
MA'HAD IAIN
|
|
8
|
Amalia
Fauziyatussani
|
Ambarawa
|
MA'HAD JOMBOR
|
|
9
|
Amalia
Putri
|
Grabag, Magelang
|
MA'HAD JOMBOR
|
|
10
|
Anggun Klarasinta
|
Grobogan
|
MA'HAD IAIN
|
|
11
|
Aris
Safitri
|
Boyolali
|
MA'HAD JOMBOR
|
|
12
|
Asfia
Kustiana
|
Klaten
|
MA'HAD IAIN
|
|
13
|
Atikah
|
Magelang
|
MA'HAD JOMBOR
|
|
14
|
Cahyaningsih
Sa'di
|
Cilacap
|
MA'HAD IAIN
|
|
15
|
Desi
Ratnasari
|
|
MA'HAD JOMBOR
|
|
16
|
Dewi
Nurjannah
|
Banjarnegara
|
MA'HAD IAIN
|
|
17
|
Dwi
Anggraeni
|
Bandungan, SMG
|
MA'HAD IAIN
|
|
18
|
Dwi Antika
Safitri
|
Magelang
|
MA'HAD IAIN
|
|
19
|
Dwi
Rahmawati
|
Boyolali
|
MA'HAD IAIN
|
|
20
|
Elly
Hidayati
|
Demak
|
MA'HAD IAIN
|
|
21
|
Eni Nur
Fuadah
|
Magelang
|
MA'HAD JOMBOR
|
|
22
|
Eni Nur
Safitri
|
Ngawi
|
MA'HAD IAIN
|
|
23
|
Esti
makrufah
|
wonosobo
|
MA'HAD IAIN
|
|
24
|
Evi
Nurhayati
|
Boyolali
|
MA'HAD JOMBOR
|
|
25
|
Fadhillah
Nur Chasanah
|
Semarang
|
MA'HAD IAIN
|
|
26
|
Farah
Lisfia Faradis
|
Sragen
|
MA'HAD IAIN
|
|
27
|
Fera
Yuliyanti
|
Magelang
|
MA'HAD IAIN
|
|
28
|
Fifit
Rodhiyatun Na'imah
|
Blora
|
MA'HAD IAIN
|
|
29
|
Firda Avivia
Putri Kiswari
|
Sragen
|
MA'HAD IAIN
|
|
30
|
Fitria
Nurkholifah
|
Magelang
|
MA'HAD JOMBOR
|
|
31
|
Fitriana
Astuti
|
wonosobo
|
MA'HAD IAIN
|
|
32
|
Hayyi' Qoidatur
Rofiah
|
Jepara
|
MA'HAD IAIN
|
|
33
|
Ika Kurnia
Noviantika
|
Boyolali
|
MA'HAD IAIN
|
|
34
|
Ika
triyanti
|
Boyolali
|
MA'HAD IAIN
|
|
35
|
Intan
Hartati
|
|
MA'HAD JOMBOR
|
|
36
|
Khasanah
Umi Nurhidayah
|
Sragen
|
MA'HAD IAIN
|
|
37
|
Kurnia
Putri Utami
|
Magelang
|
MA'HAD JOMBOR
|
|
38
|
Laelatul
Munawaroh
|
wonosobo
|
MA'HAD IAIN
|
|
39
|
Lailiyah
Mahfuroh
|
Mojokerto
|
MA'HAD IAIN
|
|
40
|
Laverda Evan
F.A
|
Grabag, Magelang
|
MA'HAD JOMBOR
|
|
41
|
Lia
Ni'matul Maula
|
Ngawi
|
MA'HAD IAIN
|
|
42
|
Lidya
Handayani
|
Magelang
|
MA'HAD JOMBOR
|
|
43
|
Lilik
fitryani
|
Demak
|
MA'HAD JOMBOR
|
|
44
|
lilik
Septia Putri
|
Tegal
|
MA'HAD IAIN
|
|
45
|
lilis setiyowati
|
Pati
|
MA'HAD IAIN
|
|
46
|
Lina
Kunnatun Nuroniyah
|
Kendal
|
MA'HAD IAIN
|
|
47
|
Lina
Widiati
|
Boyolali
|
MA'HAD JOMBOR
|
|
48
|
Lutfiatul
Erie Diana
|
Lamongan
|
MA'HAD IAIN
|
|
49
|
Mala Ilma
Auliyak
|
Demak
|
MA'HAD IAIN
|
|
50
|
Maryati
|
Karanganyar
|
MA'HAD JOMBOR
|
|
51
|
Miftah
Nuril Maulidah
|
Mojokerto
|
MA'HAD IAIN
|
|
52
|
Na'imatun Binti
M
|
|
MA'HAD JOMBOR
|
|
53
|
Nia Rezky
Setyani
|
wonosobo
|
MA'HAD IAIN
|
|
54
|
Ni'mah
Hilyatul Khoiri
|
karanga anyar
|
MA'HAD IAIN
|
|
55
|
Nor
Fitryaningsih
|
Jepara
|
MA'HAD IAIN
|
|
56
|
Nur Afifah
Aminudin
|
Wonogiri
|
MA'HAD IAIN
|
|
57
|
Nur Aini
|
wonosobo
|
MA'HAD IAIN
|
|
58
|
Nur Alifah
|
Demak
|
MA'HAD IAIN
|
|
59
|
Nur
Awaliyah
|
Cilacap
|
MA'HAD IAIN
|
|
60
|
Nur
Chamidah
|
Rembang
|
MA'HAD IAIN
|
|
61
|
Nur Laila
Fajriyah
|
Demak
|
MA'HAD IAIN
|
|
62
|
Nur Mafan
Siska
|
Mojokerto
|
MA'HAD IAIN
|
|
63
|
Nurun
Nihayatul Latifah
|
Banjarnegara
|
MA'HAD IAIN
|
|
64
|
Pipit Ovi
Fadhillah
|
Temanggung
|
MA'HAD JOMBOR
|
|
65
|
Rahma
Nurmizsuari
|
Sragen
|
MA'HAD IAIN
|
|
66
|
Risa
Udayani
|
Temanggung
|
MA'HAD IAIN
|
|
67
|
Riska
Prastiwi
|
Grabag, Magelang
|
MA'HAD IAIN
|
|
68
|
Risma
Zuliyana Dewi
|
Demak
|
MA'HAD IAIN
|
|
69
|
Rizka Alfi
Nur Aini
|
Cilacap
|
MA'HAD IAIN
|
|
70
|
Rizki
Amalia
|
Sragen
|
MA'HAD IAIN
|
|
71
|
Robikhah
Khoiryah
|
Purbalingga
|
MA'HAD IAIN
|
|
72
|
Sayyidatina
Anzalia
|
Mojokerto
|
MA'HAD IAIN
|
|
73
|
Shinta Dewi
Wahyuputri
|
Semarang
|
MA'HAD JOMBOR
|
|
74
|
Siti
Aminatul Maghfirifah
|
Temanggung
|
MA'HAD IAIN
|
|
75
|
Siti Kurnia
Zulfa
|
Kudus
|
MA'HAD IAIN
|
|
76
|
Siti Rofi'ah
|
|
MA'HAD JOMBOR
|
|
77
|
Sofiana
Lestari
|
Temanggung
|
MA'HAD IAIN
|
|
78
|
Suliwati
|
Banjarnegara
|
MA'HAD IAIN
|
|
79
|
Susi
juariyah
|
Boyolali
|
MA'HAD JOMBOR
|
|
80
|
Tri Dwi
Nugraheni
|
Bojonegoro
|
MA'HAD IAIN
|
|
81
|
Tyas Retni
Masfu'ah
|
Temanggung
|
MA'HAD JOMBOR
|
|
82
|
Uli Fatwati
|
Kendal
|
MA'HAD IAIN
|
|
83
|
Ulya
Anisatur Rosidah
|
Bancak, SMG
|
MA'HAD IAIN
|
|
84
|
Ulyanisa
Thoatilkhusna
|
Boyolali
|
MA'HAD JOMBOR
|
|
85
|
Vivi
Dyahningsih
|
Magelang
|
MA'HAD JOMBOR
|
|
86
|
Wahyu Anggi
Risma Agustin
|
Sumowono
|
MA'HAD IAIN
|
|
87
|
Wahyu
Fitrya Ariyanti
|
Mojokerto
|
MA'HAD IAIN
|
|
88
|
Wilis
|
Boyolali
|
MA'HAD IAIN
|
|
89
|
Windasari
|
Bojonegoro
|
MA'HAD IAIN
|
|
90
|
Yuniati
|
wonosobo
|
MA'HAD IAIN
|
|
91
|
Zahro
Farikhan Nisa
|
Grobogan
|
MA'HAD IAIN
|
NB :
1. Bagi nama yang
tidak tercantum di atas dan untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi
nomor di bawah ini :
085784290675
085740492141
Terimakasih.
Salatiga, 4 Agustus 2015
Langganan:
Postingan (Atom)