Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Karena Mimpi kita berawal dari Sepatah Kata

Rabu, 16 Maret 2016

Pintar Cas-Cis-Cus Jadi Reporter Kampus

Reporter adalah sebutan crew yang bertugas mencari dan menulis berita. Biasanya, untuk menjadi seorang reporter diperlukan beberapa tahapan. Reporter disini dengan garis bawah reporter kampus lho, guys! Mungkin secara substansinya sama dengan reporter resmi pada umumnya, tapi secara operasional, target, maupun cakupan mempunyai implementasi yang berbeda.
Di sebuah lembaga pers kampus (DinamikA_red) yang saya geluti selama 6 semester ini, ada beberapa tahapan pra reporter. Diantaranya, Pelatihan Pers Mahasiswa Tingkat Dasar (PPMTD) dan Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut (PJTL). Kenapa harus begitu? Sebelum masuk ke dunia reporter saya kira harus jelas apa dan bagaimana jurnalistik itu. Belum lagi ke bagian-bagian yang terasa asing tapi sangat penting bagi para anggota baru.
Di tahapan PPMTD biasanya berisi pemadatan materi tentang jurnalistik, fotografi, keorganisasian, dan lay out. Dan apakah mahasiswa yang mengikuti PPMTD terjamin ke-shohih-annya dalam paham jurnalisme? Tentu tidak semua materi tercover sempurna. Maka dari itu, diperlukan beberapa pelatihan yang harus diikuti oleh Crew Magang (Crew Magang adalah sebutan bagi anggota yang belum melalui tahap PJTL). Di tahapan ini, Crew Magang juga dibebankan sejumlah tugas sebagai bentuk persyaratan mengikuti PJTL. Di tahapan ini juga, Crew Magang mulai memainkan perannya sebagai reporter kampus.
Pernah, suatu hari (pas masih jadi Crew Magang) entah liputan yang ke berapa, saya dan teman-teman meliput expo di alun-alun kota. Ya, namanya expo kan sambil jalan-jalan sambil interview Pak Polisinya. Eh, kitanya malah disuruh makan bareng dan balik diwawancarai. Itu tuh greget nya di liputan. Pasti ada hal-hal unpredictable yang jarang kita temui di datarnya kehidupan sehari-hari. Istilahnya, liputan itu dolan ke kehidupan orang lain. Kepo sana kepo sini.
Untuk menemukan greget itu tentu saja harus melalui proses. Tidak jarang seorang reporter yang menunggu berjam-jam dan cuma bisa interview lima menit. Bayangkan, lima menit! Tapi itu sudah untung juga bisa wawancara, nah kalo sudah nunggu lama tapi akhirnya dicancel? Untuk itu, menjadi seorang reporter (meskipun hanya reporter kampus) diperlukan kesiapan material dan mental.
Disini, saya akan mengulas beberapa hal yang diperlukan seseorang untuk menjadi seorang reporter kampus. Em, kenapa reporter kampus? Karena yang akan saya tulis ini based on experience. Bagaimana saya menjadi seorang reporter kampus yang benar-benar memulai dari nol, bahkan minus!
Based on experience lagi, bagian reporter itu ada dua: meliput berita dan menuliskannya. Meliput berita sendiri harus ada prepare nya. Ngomong-ngomong tentang liputan, liputan itu sejatinya apa sih? Apakah dalam penulisan berita harus mengalami proses liputan? Liputan, dapat dimaknai dengan searching, semacam pengumpulan sumber informasi (karena sumber informasi bisa didapat dari data dan opini narasumber). Saya kira prinsip gelas kosong patut diimplementasikan ketika menjadi reporter karena hal tersebut dapat mempengaruhi informasi yang akan diterima.
Semakin banyak informasi yang diterima maka akan semakin banyak bahan yang dapat diolah. Liputan itu semacam berbelanja di pasar, seorang reporter perlu mencari bahan dan resep agar tulisannya nikmat memikat. Tentang haruskah seorang reporter melakukan liputan, saya kira liputan memberi sumbangsih besar dalam dunia penulisan yang mendukung kepadatan substansi. Namun, ada beberapa metode pengumpulan informasi yang cukup dengan data saja.
As I said before, ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika dalam tahapan pra liputan. Mulai dari mencari isu, penguasaan materi, stock mental, dan hal-hal yang berbau kemungkinan. Hal-hal semacam ini perlu diketahui dan diimplementasikan jika ingin liputan berjalan maksimal.
Setelah itu? Show off! Dalam liputan, tentu ada semacam tips-tips kecil dalam menaklukkan narasumber, situasi maupun diri sendiri. Tantangan dan hal-hal yang tidak bisa diperkirakan memang sesuatu yang tidak dapat diduga. Tapi, solusi dan antisipasi yang harusnya jadi amunisi.
Kemudian, apakah hanya sampai pada itu saja? Ooh, tidak! Masih ada satu tahapan dimana sebuah liputan dikatakan sah dan sempurna. Menulis! Karena itulah reporter special. Baik momen liputan maupun momen dalam menghasilkan tulisan, semuanya bersifat krusial. Keduanya akan menghasilkan sebuah kepuasan jika dipersiapkan.
Menulis adalah momok mengerikan bagi sebagian orang. Membaca buku yang tebal saja sering malasnya apalagi menuliskannya. Keep calm, guys! Tulisan yang dibahas kali ini hanya sebatas berita. Hanya? Yah, ada beberapa macam berita yang tentu menurut kadar kesanggupan dalam menuliskannya.
Dalam skill menulis, hal-hal yang dibutuhkan tentu bersifat jangka panjang mengingat hal ini lebih pada kepekaan. Namun, jangan khawatirr, semua itu bisa dipelajari. Kuncinya, banyak-banyak saja membaca berita.
Dalam kasus ini, menulis bukan hanya tentang menuangkan data yang telah dikumpulkan. Tapi, lebih dari itu menulis juga sebagai sarana penghubung informasi yang sesuai komposisi dan intuisi. Ada angle yang harus diperhatikan dalam menulis sebuah berita agar tetap fokus dan tidak keluar jalur.
Hal ini sama juga ketika menentukan sebuah judul. Tidak dapat dipungiri bahwa judul adalah hal pertama yang dilihat pembaca yang berkaitan dengan nasib berita. Sebuah berita yang mempunyai judul unik menarik lebih besar peluangnya untuk dibaca daripada judul yang biasa-biasa saja.
Begitu juga dalam bahasa yang digunakan. Berita bersifat informatif, maka bahasa yang digunakan harus sesuai dan tepat sasaran. Untuk itu, diperlukan feel dalam menuliskannya. Untuk memunculkan feel itu, memang memperbanyak membaca dan menulislah kuncinya. Hal itu semacam investasi transparan yang sewaktu-waktu sangat dibutuhkan.
Liputan, membuat tulisan, sudah? Tentu saja belum. Self editing! Kenapa harus ada self editing? Bukankah dalam jajaran keredaksian sudah ada yang bertugas mengedit berita dan kawan-kawannya? Self editing dapat meminimalisir kesalahan dalam menulis. Dengan self editing juga dapat merupakan koreksi pribadi yang melibatkan emosi. Dalam self editing, ada semacam perasaan yang membela mati-matian sebuah tulisan, namun di sisi lain self editing sendiri juga bersikeras untuk menghapus bagian dari tulisan tersebut.
Menjadi reporter tampaknya memang pelik, tapi tidak dapat dipungkiri banyak juga hal-hal yang asik dan menarik. Jadi, siapkah kamu jadi reporter kampus yang pintar ber-cas-cis-cus?

Sabtu, 05 Maret 2016

Ini Adalah…


             
Ini adalah...
                Sabtu pagi yang mulai beranjak siang, disini aku menyelesaikan 536 halaman novel “Kinanthi: Terlahir Kembali” yang seharusnya sudah kukembalikan ke Arsipda Salatiga 18 Februari lalu. Terlalu lama? Kali ini aku tak ingin membahas tentang itu.
                Aku mulai merapikan struktur wajah kucelku, mengancingkan satu kancing di baby doll putih bunga-bungaku, dan melihat jejak-jejak letupan perasaan yang meleleh di sudut kelopak mataku. Setelah itu semua, aku hanya ingin mengulas sedikit tentang novel karya Tasaro G. K. Sekadar memberikan komentar, opini, maupun asumsi. Biar kece katanya….
                Kinanthi terlahir sebagai anak yang dikucilkan oleh sebagian besar orang di desanya. Ayahnya, seorang penjudi dan ibunya sendiri ‘kata orang-orang sih’ juga bukan wanita yang baik-baik. Sekilas ini memang terlalu klise dan impossible mengingat Kinanthi ternyata adalah gadis cantik yang cerdas. Kukira ini juga akan berakhir dengan adegan-adegan dan ending yang klise juga.
                Ternyata tidak! Kisah yang suka sekali membuat bahuku berguncang ini juga menyodorkan betapa dekatnya dengan kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan realita. Ayahnya sangat sayang kepada Kinanthi, sebagaimana ekspresi sayang bagi orang-orang yang hidup di dunia realita.
Hal ini berangkat dari setiap cerita yang kuanalisis, seorang tokoh itu ya.. kalau tidak sempurna banget pasti nelangsa banget. Setidaknya ‘tokoh’ itu tetap manusia ‘kan? Harusnya tetap ada element of truth nya meski itu dalam dunia dongeng sekalipun.
                Oke lanjut. Aku tidak ingin mengulas tentang sinopsis kisah itu disini. Takut akan menciderai imajinasi para calon pembaca. Ngerti ya?
                Pada suatu hari, untuk memenuhi obsesiku terhadap dunia fiksi, aku mendatangi sebuah acara roadshow oleh salah satu penerbit terkenal. Kutanyakan pada narasumber yang juga sebagai editornya, “Kenapa yang sering diangkat dalam sebuah novel adalah kisah cinta? Padahal kalau kita tinjau dari kehidupan sehari-hari, cinta seakan menjadi nomor seratus dua puluh lima.”
                Aku tak ingin berpikir jauh-jauh. Cinta terlihat indah jika dideskripsikan dengan kata-kata (dan sepertinya kamu perlu mempertimbangkan bagaimana bahagianya di-jatuhcintai oleh penulis dengan seksama). Selebih itu, cinta mungkin diekspresikan dengan bentuk yang lain.
                Jawabannya satu, marketing. Sebenarnya jawabannya banyak, tapi kesimpulanku mengatakannya pada satu kata yaitu marketing. Ya, tentu saja kau harus mengerti bahwa tidak hanya butuh berlembar-lembar kata cinta untuk hidup bahagia, ada juga tentang materi, keseimbangan, dan hal-hal yang mungkin setiap orang hanya disembunyikan rapi dalam hati.
                Begitu juga dengan Kinanthi. “Mencintai itu satu perkara, sedangkan memiliki itu perkara yang lain, Zhaxi. Saya sedang belajar untuk memahami itu,” ucap Kinanthi di halaman 530. Ada hal yang memang tak bisa dipisahkan dari kehidupan, perasaan, permasalahan dan marketing itu sendiri. Tapi setidaknya dalam kisah ini cinta bisa dipandang dalam perspektif realita, dan itu lebih mendekatkan pada logika.
                Tentang perjalan hidup Kinanthi yang bermula dari anak yang dikucilkan, ditukar oleh ayahnya dengan 50 Kg beras, berkali-kali menjadi korban TKW sehingga meraih gelar professor di negeri Paman Sam itu, kukira wajar saja. “Wong dia tokoh utama, kok!”
                Selain tentang konsep cinta-realita yang ada dalam kisah ini, pembaca juga diajak kembali menelaah berbagai macam fenomena sosial. Kita sering akrab dengan dunia pedesaan, tapi tak pernah benar-benar merasakan itu sebagai kondisi yang spesial sekaligus kontroversional. Begitulah, sungguh apik Bang Tasaro mendeskripsikan setiap detil setting. Di Wonosari, Bandung, Riyadh, Kuwait, Amerika, hingga dua puluh tahun kemudian saat Kinanthi kembali lagi ke Wonosari.
                Seperti standar novel berkualitas asumsiku, novel ini sangat padat pengetahuan dan wawasan. Itu tergolong cocok untuk orang-orang yang masih belum suka membaca buku tematik tentang pengetahuan, meskipun tebalnya tak seberapa.
                Begitu juga konsep ‘mimpi’ yang selama 3 tahun terakhir ini membuatku bergairah hidup kembali. Kembali? Ah tidak usahlah membahas yang itu. Di dalam kisah ini memang Kinanthi sudah punya modal utama: cerdas. Tapi toh ia mempunyai masa lalu yang lebih rumit ketimbang saya, kamu, ataupun tokoh-tokoh pada dunia realita. Tapi itu tidak mengurangi kadar semangatnya bukan?
 Maka, itu yang membuat novel ini bebas dibaca oleh segala usia. Karena belakangan ini, banyak sekali karya sastra yang ternyata membahas persoalan dewasa. hal tersebut berpotensi untuk menciderai pemikiran-pemikiran mereka yang masih suci dan sibuk mencari jati diri. Masih ingat ‘kan tentang salah satu unsur ekstrinsik sebuah cerita: amanat penulis. Tapi, lebih dari itu pun penulis sama halnya guru yang mengajari anak didiknya. Ada sebuah beban moral yang sedang diajarkan.
Seharusnya ada label batas usia di setiap buku yang akan kita konsumsi. Beberapa memang ada, tapi sebagian besar tidak! Mungkin itu akan sangat bermasalah dalam bidang marketing. Iya, tidak?
Ada rasa nyesek juga kenapa tidak bisa melahap buku ini dalam rentang waktu yang lebih singkat, juga buku-buku berkualitas yang lain. Tapi aku sedang hidup di dunia realita, terkadang aku boleh duduk sambil mewek dan nggak bisa diganggu siapapun pas lagi baca (padahal aku sendiri sebel setengah mati kalau lagi BBM-an tapi ditinggal baca); fokus dengan beberapa mata kuliah beserta tugas-tugasnya; mengekspresikan hobi, obsesi atau semacam pembebasan diri; dan berlomba-lomba bangun pagi antri kamar mandi.
                Ini adalah…
                Resensi? Asumsi? Atau curahan hati? entahlah, ku masih mualaf tentang semua ini.

Minggu, 28 Februari 2016

Demi ‘akar-akar’ pemikiran


Hal yang paling menyenangkan adalah mengingat masa kecil. Entah itu hanya terjadi padaku atau sebagian besar mantan anak kecil yang ‘katanya’ telah dewasa. Disana, ada kebahagiaan murah meriah namun tak murahan. Ada juga selaksa tangisan yang cepat reda karena iming-iming jajanan. Indah, ya?
                Tentu saja itu bagian yang kusuka. Salah satunya adalah ketika…
                Ketika itu, setelah pulang sekolah aku dan teman-temanku suka sekali berhenti di bawah Pohon Keres. Pohon Keres, Pohon Karsen, atau yang lebih populer Pohon Talok. Buahnya manis agak kersak. Mengambilnyapun cukup mudah. Buahnya yang terus panen tiap hari itu menyajikan kebahagiaan tersendiri olehku dan teman-temanku.
                Beberapa waktu setelah itu, kami tidak melihat pohon yang berbuah kebahagiaan itu berdiri kokoh, seperti biasanya. Sebagai gantinya, beberapa oggokan kayu, daun-daun hijau, dan buah Keres yang sebagian besar masih hijau berserakan di atas tanah coklat yang menggersang.
                Sehari, seminggu, bahkan setahun setelah itu teman-teman sudah menemukan kebahagiaan lain. Bermain masak-masakan, betengan, bancakan, dan lainnya.  Tapi mencari buah Keres bagiku adalah ‘feel’ tersendiri.
Meski leher terkadang lelah saat memegangi dobos panjang yang ujungnya diberi botol minuman bekas. Ya, maklumlah aku anak rumahan tulen. Jadi, tidak bisa memanjat pohon yang tidak begitu tinggi sekalipun. Akhirnya, kupergunakan tongkat panjang yang terbuat dari dobos, kemudian ujungnya bertemu dengan ujung botol bekas yang dipotong setengah badan kemudian diruncingkan, dibuat bergerigi. Feel itu semakin bertambah saat mengaitkan tangkai buah dan gerigi botol. Apalagi, kalau buah Keres merah merona itu resmi terlepas dari tangkainya. Pulp! Sejauh itu hati kami bahagia melayang tapi tak terbang.
Usut punya usut, bukan tanpa sebab kenapa Pohon Keres itu ditebang. Kata yang punya rumah, akarnya yang menjalar panjang itu akan merusak pondasi rumah. Karena panjang akar sama panjangnya dengan panjang batang, begitu sih katanya. Maka dari itu, lebih baik Si Pohon ditebang dan berakhirlah binar-binar kebahagiaan.
Ini tentu hanyalah hal sepele yang di kemudian hari jadi serius. Tapi tentu bukan penyelesaian jika pohon Keres lainnya harus ditebang karena merusak pondasi bangunan. Yups, semua itu butuh pelampiasan yang sesuai.
Jika pohon Keres itu ditanam di tanah yang luas, maka akan semakin banyak buah-buah kebahagiaan yang akan dipanen. Toh pohon itu tidak hanya berfungsi sebagai penghasil buah gratis yang juga enak abis. Disamping itu, ia bekerja keras menghasilkan oksigen sekaligus menyerap karbon dioksida dengan sekuat tenaga.
Kasus ini mirip sekali dengan yang beberapa waktu terjadi padaku. Akhir-akhir ini, seolah ada ‘aku’ yang lain yang sama-sama tinggal di pikiranku. Ia begitu berisik, tak mempedulikanku yang lelah batin dan fisik. Apa-apa yang telah kulihat lewat mata bertransformasi menjadi satu-kesatuan informasi yang panjang tak berpangkal.
Aku mulai bosan, ‘akar-akar’ pemikiran itu lama-lama mengganggu pokok ‘pondasi’ pemikiranku yang lain. Ada ‘aku’ lain yang berubah drastis jadi antagonis. Bukankah itu sayang sekali jika harus menebang ‘akar-akar’ pemikiran yang dikaruniai khusus dari Tuhan?
Semua itu butuh pelampiasan, kata ‘aku’ yang hanya sebagai figuran itu. Seperti Pohon Keres yang telah ditebang, begitu juga seperti kebahagiaan yang telah mengawang. Aku mulai melampiaskan ‘akar-akar’ pemikiran itu lewat apa yang biasanya disebut kekata. Lengkap dengan tinta dan secarik kertas yang akhir-akhir ini cukup berbentuk soft file saja. Lucu juga, berhadapan dengan layar putih seperti kertas, memencet tombol-tombol yang tak sesuai abjad indonesia.
Sekali, dua kali, tiga bahkan beberapa kali aku membacanya tentu saja jelek di mata ulama sastra Indonesia. Aku ingin... sekali tak peduli. Tapi aku mempertahankan dan ‘melihat’ ada kehidupan dalam tulisan malang itu. untuk pertama kalinya, bagiku menulis bukanlah sebuah pelampiasan.
Ada sesuatu yang ‘unik’ dalam setiap orang. Begitu juga denganku. Iya kan? Aku tidak memaksa siapapun untuk melihat itu. Tapi aku ingin diriku sendiri yang mengeksplorasinya. Caranya? Itu yang sedang kupikirkan.
Ada keasyikan dalam membaca dan menulis yang hampir sama namun, tak serupa. Jika membaca seperti masuk melalui sebuah pintu, maka menulis itu ibarat keluar melalui pintu itu. Bahkan, ketika kita keluar melalui pintu itu, terkadang tidak lupa menggandeng buah tangan di kiri dan kanan ‘kan? Kurasa itulah alasan kenapa aku memilih menulis. Dari sekian ribu aktifitas fisik dan batin, kupilih menulis untuk mempertahankan ‘akar-akar’ pemikiran dan aneka ragam kebahagiaan.
Seperti Pohon Keres yang hanya perlu ditanam/ tertanam di lahan yang lapang, akar-akarnya tidak akan mengganggu pondasi bangunan yang kokoh terbentang. Begitu juga denganku, aku hanya membutuhkan ruang agar ‘akar-akar’ pemikiran itu tertuang maksimal. Tentang aneka ragam kebahagiaan? Ah, itu nanti sajalah!

                                                                                                                                                                 

Selasa, 04 Agustus 2015

Pengumuman Seleksi Ma'had Al-Jami'ah Putri IAIN Salatiga

Suasana Tes Ma'had pada Senin (03/08/2015)

HASIL SELEKSI MA’HAD JAMI’AH PUTRI
IAIN SALATIGA
PERIODE 2015/2016
NO
NAMA
DOMISILI
KETERANGAN
1
Afidatus Afida
Mojokerto
MA'HAD IAIN
2
Afri'atun Nasikhah
Temanggung
MA'HAD IAIN
3
Afroul Aini
Batang
MA'HAD IAIN
4
Alfi Ayu Tantriyani
Sragen
MA'HAD IAIN
5
Alifaful 'aina
Temanggung
MA'HAD IAIN
6
Alinatul Munawaroh
Boyolali
MA'HAD IAIN
7
Alnunnajah Ulli emas
Sragen
MA'HAD IAIN
8
Amalia Fauziyatussani
Ambarawa
MA'HAD JOMBOR
9
Amalia Putri
Grabag, Magelang
MA'HAD JOMBOR
10
Anggun Klarasinta
Grobogan
MA'HAD IAIN
11
Aris Safitri
Boyolali
MA'HAD JOMBOR
12
Asfia Kustiana
Klaten
MA'HAD IAIN
13
Atikah
Magelang
MA'HAD JOMBOR
14
Cahyaningsih Sa'di
Cilacap
MA'HAD IAIN
15
Desi Ratnasari

MA'HAD JOMBOR
16
Dewi Nurjannah
Banjarnegara
MA'HAD IAIN
17
Dwi Anggraeni
Bandungan, SMG
MA'HAD IAIN
18
Dwi Antika Safitri
Magelang
MA'HAD IAIN
19
Dwi Rahmawati
Boyolali
MA'HAD IAIN
20
Elly Hidayati
Demak
MA'HAD IAIN
21
Eni Nur Fuadah
Magelang
MA'HAD JOMBOR
22
Eni Nur Safitri
Ngawi
MA'HAD IAIN
23
Esti makrufah
wonosobo
MA'HAD IAIN
24
Evi Nurhayati
Boyolali
MA'HAD JOMBOR
25
Fadhillah Nur Chasanah
Semarang
MA'HAD IAIN
26
Farah Lisfia Faradis
Sragen
MA'HAD IAIN
27
Fera Yuliyanti
Magelang
MA'HAD IAIN
28
Fifit Rodhiyatun Na'imah
Blora
MA'HAD IAIN
29
Firda Avivia Putri Kiswari
Sragen
MA'HAD IAIN
30
Fitria Nurkholifah
Magelang
MA'HAD JOMBOR
31
Fitriana Astuti
wonosobo
MA'HAD IAIN
32
Hayyi' Qoidatur Rofiah
Jepara
MA'HAD IAIN
33
Ika Kurnia Noviantika
Boyolali
MA'HAD IAIN
34
Ika triyanti
Boyolali
MA'HAD IAIN
35
Intan Hartati

MA'HAD JOMBOR
36
Khasanah Umi Nurhidayah
Sragen
MA'HAD IAIN
37
Kurnia Putri Utami
Magelang
MA'HAD JOMBOR
38
Laelatul Munawaroh
wonosobo
MA'HAD IAIN
39
Lailiyah Mahfuroh
Mojokerto
MA'HAD IAIN
40
Laverda Evan F.A
Grabag, Magelang
MA'HAD JOMBOR
41
Lia Ni'matul Maula
Ngawi
MA'HAD IAIN
42
Lidya Handayani
Magelang
MA'HAD JOMBOR
43
Lilik fitryani
Demak
MA'HAD JOMBOR
44
lilik Septia Putri
Tegal
MA'HAD IAIN
45
lilis setiyowati
Pati
MA'HAD IAIN
46
Lina Kunnatun Nuroniyah
Kendal
MA'HAD IAIN
47
Lina Widiati
Boyolali
MA'HAD JOMBOR
48
Lutfiatul Erie Diana
Lamongan
MA'HAD IAIN
49
Mala Ilma Auliyak
Demak
MA'HAD IAIN
50
Maryati
Karanganyar 
MA'HAD JOMBOR
51
Miftah Nuril Maulidah
Mojokerto
MA'HAD IAIN
52
Na'imatun Binti M

MA'HAD JOMBOR
53
Nia Rezky Setyani
wonosobo
MA'HAD IAIN
54
Ni'mah Hilyatul Khoiri
karanga anyar
MA'HAD IAIN
55
Nor Fitryaningsih
Jepara
MA'HAD IAIN
56
Nur Afifah Aminudin
Wonogiri
MA'HAD IAIN
57
Nur Aini
wonosobo
MA'HAD IAIN
58
Nur Alifah
Demak
MA'HAD IAIN
59
Nur Awaliyah
Cilacap
MA'HAD IAIN
60
Nur Chamidah
Rembang
MA'HAD IAIN
61
Nur Laila Fajriyah
Demak
MA'HAD IAIN
62
Nur Mafan Siska
Mojokerto
MA'HAD IAIN
63
Nurun Nihayatul Latifah
Banjarnegara
MA'HAD IAIN
64
Pipit Ovi Fadhillah
Temanggung
MA'HAD JOMBOR
65
Rahma Nurmizsuari
Sragen
MA'HAD IAIN
66
Risa Udayani
Temanggung
MA'HAD IAIN
67
Riska Prastiwi
Grabag, Magelang
MA'HAD IAIN
68
Risma Zuliyana Dewi
Demak
MA'HAD IAIN
69
Rizka Alfi Nur Aini
Cilacap
MA'HAD IAIN
70
Rizki Amalia
Sragen
MA'HAD IAIN
71
Robikhah Khoiryah
Purbalingga
MA'HAD IAIN
72
Sayyidatina Anzalia
Mojokerto
MA'HAD IAIN
73
Shinta Dewi Wahyuputri
Semarang
MA'HAD JOMBOR
74
Siti Aminatul Maghfirifah
Temanggung
MA'HAD IAIN
75
Siti Kurnia Zulfa
Kudus
MA'HAD IAIN
76
Siti Rofi'ah

MA'HAD JOMBOR
77
Sofiana Lestari
Temanggung
MA'HAD IAIN
78
Suliwati
Banjarnegara
MA'HAD IAIN
79
Susi juariyah
Boyolali
MA'HAD JOMBOR
80
Tri Dwi Nugraheni
Bojonegoro
MA'HAD IAIN
81
Tyas Retni Masfu'ah
Temanggung
MA'HAD JOMBOR
82
Uli Fatwati
Kendal
MA'HAD IAIN
83
Ulya Anisatur Rosidah
Bancak, SMG
MA'HAD IAIN
84
Ulyanisa Thoatilkhusna
Boyolali
MA'HAD JOMBOR
85
Vivi Dyahningsih
Magelang
MA'HAD JOMBOR
86
Wahyu Anggi Risma Agustin
Sumowono
MA'HAD IAIN
87
Wahyu Fitrya Ariyanti
Mojokerto
MA'HAD IAIN
88
Wilis
Boyolali
MA'HAD IAIN
89
Windasari
Bojonegoro
MA'HAD IAIN
90
Yuniati
wonosobo
MA'HAD IAIN
91
Zahro Farikhan Nisa
Grobogan
MA'HAD IAIN

NB :
1.      Bagi nama yang tidak tercantum di atas dan untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi nomor di bawah ini :
085784290675
085740492141

Terimakasih.
Salatiga, 4 Agustus 2015